Selasa, 02 April 2013
In:
referat coass
ATRESIA ESOFAGUS
ATRESIA ESOPHAGUS
Harfana alwi, Nusbahuddin, Bachtiar Murtala
Harfana alwi, Nusbahuddin, Bachtiar Murtala
I. Pendahuluan
Atresia esophagus yaitu kondisi dimana tidak terdapat esofagus atau terjadi penutupan dan konstriksi dari esofagus.1
Atresia esofagus adalah sekelompok kelainan kongenital yang mencakup gangguan kontinuitas esofagus disertai atau tanpa adanya hubungan dengan trakea (Dr. Rovels Agber Maywell Iroth,2010). Atresia berarti buntu, atresia esofagus adalah suatu keadaan dimana lubang atau muara dari esofagus mengalami penutupan. Pada sebagian besar kasus atresia esofagus ujung esofagus buntu, akan tetapi pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan trakea setinggi karina. 2
Atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus juga berhubungan dengan kompleks VATER (cacat tulang belakang, malformasi anus, fistula trakeoesofagus, atresia esofagus, kelainan ginjal, dan displasia dari tulang radius) dan VACTRL ( kelainan vertebra, kelainan vaskuler, atresia anal, kelainan jantung, fistula trakeoesofagus, atresia esofagus, kelainan ginjal dan kelainan asosiasi anggota tubuh). Kondisi ini biasanya segera terdiagnosis sesaat setelah bayi dilahirkan.1
II. Insidens dan Epidemiologi
Atresia esofagus pertama kali dikemukakan oleh Hirscprung seorang ahli anak dari Copenhagen pada abad 17 tepatnya pada tahun 1862 dengan lebih kurang 14 kasus atresia esofagus, kelainan ini di duga sebagai suatu malformasi dari traktus gastrointestinal.3
Tahun 1941 seorang ahli bedah Cameron Haight dari Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia esofagus dan sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan kongenital yang bisa diperbaiki.3
Sekitar 30% bayi yang lahir dengan atresia esofagus mengalami gangguan pada jantung dan sistem gastrointestinal.Selain itu bayi dengan esophageal atresia juga dapat mengalami gangguan pernapasan seperti kesulitan dalam bernapas, infeksi dan tersedak. Hal ini terjadi karena bayi mengaspirasi saliva ke dalam paru-parunya.4
Kira-kira 1 dari setiap 4000 bayi lahir dengan atresia esofagus setiap tahun. Meskipun atresia esofagus dan Tracheoesophageal fistula (TEF) sering terjadi bersama-sama, tetap ada kemungkinan bagi bayi yang memiliki atresia esofagus tanpa TEF.4
Insidensi atresia esofagus terjadi pada sekitar 1 dari 2500-3000 kelahiran. Kelainan ini tidak diturunkan, walaupun terdapat kaitan dengan abnormalitas kromosomal. Tidak lebih dari 1% kasus dimana terdapat riwayat orang tua dengan kelainan yang sama. . (Dr. Rovels Agber Maywell Iroth, 2010). Di Amerika Utara insiden dari Atresia Esofagus berkisar 1:3000-4500 dari kelahiran hidup, angka ini makin lama makin menurun dengan sebab yang belum diketahui. Secara Internasional angka kejadian paling tinggi terdapat di Finlandia yaitu 1:2500 kelahiran hidup. Atresia Esofagus 2-3 kali lebih sering pada janin yang kembar. sektar 1/3 anak yang terkena lahir premature. Pada lebih 85 % kasus, fistula antar trakea antara trakea dan esophagus distal menyertai atresia. Lebih jarang, atresia esophagus atau fistula trakeoesophagus menjadi sendiri-sendiri dengan kombinasi yang aneh.2
III. Anatomi
Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 10 inci (25 cm) dan berdiameter sekitar 1 inci (2,54 cm), yang terbentang dari hipofaring hingga kedua lambung. Esofagus terletak di posterior jantung dan trakea, di anterior vertebra, dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung.5,7
Esofagus dimulai pada level kartilago cricoid dan berada di daerah belakang bawah dan sedikit ke kiri dari trakea. Nervus laryngeal recurrent sinistra berada di antara esofagus dan trakea. Duktus thoracis berada di sebelah kiri dari esofagus.6
Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normalberada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofags bagian bawah, walaupun secara anatomis tidak nyata, bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu muntah.5
IV. Etiologi
Etiologi atresia esofagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan jelas.8
Hanya dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari saudara kandung yang terkena. Namun saat ini, teori tentang terjadinya atresia esophagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan genetik. Perdebatan tentang proses embriopatologi masih terus berlanjut.9
Selama embryogenesis proses elongasi dan pemisahan trakea dan esophagus dapat terganggu. Jika pemisahan trekeoesofageal tidak lengkap maka fistula trakeoesofagus akan terbentuk. Jika elongasi melebihi proliferasi sel sebelumnya, yaitu sel bagian depan dan belakang jaringan maka trakea akan membentuk atresia esophagus.9
Atresia esophagus dan fistula trakeoesofagus sering ditemukan ketika bayi memiliki kelainan kelahiran seperti :
- Trisomi
- Gangguan saluran pencernaan lain (seperti hernia diafragmatika, atresia duodenal, dan anus imperforata).
- Gangguan jantung (seperti ventricular septal defect, tetralogifallot, dan patent ductus arteriosus).
- Gangguan ginjal dan saluran kencing (seperti ginjal polisistik atau horseshoe kidney, tidak adanya ginjal,dan hipospadia).
- Gangguan Muskuloskeletal
- Sindrom VACTERL (yang termasuk vertebr, anus, candiac, tracheosofagealfistula, ginjal, dan abnormalitas saluran getah bening).
- Lebih dari setengah bayi dengan fistula atau atresia esophagus memiliki kelainan lahir lain.9
V. Klasifikasi
Variasi anatomi dari atresia esofagus menggunakan sistem klasifikasi Gross of Boston yang sudah populer digunakan. Sistem ini berisi antara lain:10
a. Tipe A – Atresia esofagus tanpa fistula; Atresia esofagus murni (10%)
b. Tipe B – Atresia esofagus dengan TEF proximal (<1 br="">
c. Tipe C – Atresia esofagus dengan TEF distal (85%)
d. Tipe D – Atresia esofagus dengan TEF proximal dan distal (<1 br="">
e. Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus; Fistula tipe H (4%)
f. Tipe F – Stenosis esofagus kongenital tanpa atresia (<1 1="" 2="" 3="" 4.="" atau="" bagian="" berdilatasi="" br="" c="" carina="" cm="" dan="" dari="" di="" dibicarakan.tipe="" dimana="" dinding="" distal="" ditemukan="" esofagus="" ke="" kira-kira="" lebih="" masuk="" mediastinum="" menebal="" merupakan="" muskularnya="" pada="" paling="" posterior="" proximal.10="" proximal="" sempit="" sering="" setinggi="" superior="" terletak="" thorakal="" tidak="" tipe="" tipis="" trakea="" ujungnya="" umum="" vertebra="" yang="">
Tipe A (10%) didapati proximal dan distal esofagus berakhir tanpa adanya hubungan dengan trakea. Segmen proximal esofagus dilatasi dan dindingnya menebal, biasanya ujungnya terletak di posterior mediastinum setinggi vertebra thorakal 2. Esofagus distal pendek dan berakhir pada jarak yang berbeda-beda diatas diafragma. 10
Tipe E disebut juga fistel H atau N sesuai dengan gambarannya, didapati adanya fistula antara esofagus dengan trakea. Fistula biasanya sangat sempit sekitar 3-5 mm lebarnya dan biasanya terletak setinggi daerah servikal bawah. Biasanya hanya ada satu fistula, tetapi dua atau lebih fistula bisa dijumpai.10
Tipe B (<1 1-2="" adanya="" anterior="" br="" bukan="" cm="" diatas="" didapati="" dilatasi="" dinding="" esofagus.10="" esofagus="" fistel="" kantong="" kira-kira="" pada="" tetapi="" trakeoesofagus="" ujung="" yang="">
Tipe D (<1 adanya="" br="" dan="" didapati="" distal="" esofagus.10="" fistel="" kedua="" pada="" proximal="" ujung="">
VI. Diagnosis
a. Gambaran Klinis
Bayi dengan sekresi air liur dan ingus yang sering dan banyak harus diasumsikan menderita atresia esofagus sampai terbukti tidak ada. Diagnosis dibuat dengan memasukkan kateter/NGT ke dalam mulut, berakhir pada sekitar 10 cm dari pangkal gusi. Kegagalan untuk memasukkan kateter ke lambung menandakan adanya atresia esofagus. Ukuran kateter yang lebih kecil bisa melilit di kantong proximal sehingga bisa membuat kesalahan diagnosis adanya kontinuitas esofagus. Radiografi dapat membuktikan kepastian bahwa selang tidak mencapai lambung. Selang tidak boleh dimasukkan dari hidung karena dapat merusak saluran napas atas. Dalam kedokteran modern, diagnosis dengan menunggu bayi tersedak atau batuk pada pemberian makan pertama sekali, tidak disetujui lagi.
b. Diagnosis anatomis
Tindakan penanganan tergantung dari variasi anatomi. Penting untuk mengetahui apakah ada fistula pada satu atau kedua segmen esofagus. Juga penting untuk mengetahui jarak antara kedua ujung esofagus.14
Bila tidak ada fistula distal, pada foto thorax dengan selang yang dimasukkan melalui mulut akan menunjukkan segmen atas esofagus berakhir diatas mediastinum. Dari posisi lateral dapat dilihat adanya fistula dan udara di esofagus distal. Dari percabangan trakea bisa dilihat letak dari fistula.14d. Diagnosis Banding
Akalasia esofagus
Akalasia diterjemahkan dari bahasa Yunani dan berarti ‘kurang mengendor.Penyakit esofagus di mana sfingter esofagus bawah gagal berelaksasi, dikenalkan oleh Thomas Willis (1672).12
Akalasia esofagus adalah gangguan motorik primer pada esofagus akibat Gangguan/hilangnya peristaltik esofagus, Ketidakmampuan sfingter bawah esofagus untuk melemas dan membuka pada proses menelan.13
Striktur Esofagus
Ditandai dengan penyempitan lumen esofagus yang disebabkan karena proses penyakit yang intrinsik dan ekstrinsik. Striktur esofagus kongenital biasanya terlihat setelah bayi baru lahir dengan cara yang sama dengan esophageal webs.11
Gambar disamping merupakan foto esophagography yang memperlihatkan mukosa yang ireguler dan ulserasi yang menyebabkan obstruksi dan dilatasi proksimal esofagus.
VII. Penatalaksanaan
Persiapan Sebelum Operasi
Atresia esofagus ditangani dengan tindakan bedah. Persiapan operasi untuk bayi baru lahir mulai umur satu hari antara lain:
1. Cairan intravena mengandung glukosa untuk kebutuhan nutrisi bayi.
2. Pemberian antibiotik broad-spectrum secara intravena.
3. Suhu bayi dijaga agar selalu hangat dengan menggunakan inkubator, supine dengan posisi fowler, kepala diangkat sekitar 45°.
4. NGT dimasukkan secara oral dan dilakukan suction rutin.
5. Monitor vital signs.
Pada bayi prematur dengan kesulitan bernapas, diperlukan
perhatian khusus. Jelas diperlukan pemasangan endotracheal tube dan ventilator mekanik. Sebagai tambahan, ada resiko terjadinya distensi berlebihan ataupun ruptur lambung apabila:
a. udara respirasi masuk ke dalam lambung melalui fistula karena adanya resistensi pulmonar. Keadaan ini dapat diminimalisasi dengan memasukkan ujung endotracheal tube sampai ke pintu masuk fistula dan dengan memberikan ventilasi dengan tekanan rendah.
b. Echocardiography atau pemeriksaan EKG pada bayi dengan atresia esofagus penting untuk dilakukan agar segera dapat mengetahui apabila terdapat adanya kelainan kardiovaskular yang memerlukan penanganan segera.14
Tindakan Selama Operasi
Pada umumnya, operasi perbaikan atresia esofagus tidak dianggap sebagai hal yang darurat. Tetapi satu pengecualian ialah bila bayi prematur dengan gangguan respiratorik yang memerlukan dukungan ventilatorik. Udara pernapasan yang keluar melalui distal fistula akan menimbulkan distensi lambung yang akan mengganggu fungsi pernapasan. Distensi lambung yang terus menerus kemudian bisa menyebabkan ruptur dari lambung sehingga mengakibatkan tension pneumoperitoneum yang akan lebih lagi memperberat fungsi pernapasan.14
Pada keadaaan diatas, maka tindakan pilihan yang dianjurkan ialah dengan melakukan ligasi terhadap fistula trakeoesofageal dan menunda tindakan thoracotomy sampai masalah gangguan respiratorik pada bayi benar-benar teratasi. Targetnya ialah operasi dilakukan 8-10 hari kemudian untuk memisahkan fistula dan memperbaiki esofagus.14
Pada prinsipnya tindakan operasi dilakukan untuk memperbaiki abnormalitas anatomi. Tindakan operasi dari atresia esofagus mencakup:
a. Operasi dilaksanakan dalam general endotracheal anesthesia dengan akses vaskular yang baik dan menggunakan ventilator dengan tekanan yang cukup sehingga tidak menyebabkan distensi lambung.
b. Bronkoskopi pre-operatif berguna untuk mengidentifikasi dan mengetahui lokasi fistula.
c. Posisi bayi ditidurkan pada sisi kiri dengan tangan kanan diangkat di depan dada untuk dilaksanakan right posterolateral thoracotomy. Pada H-Fistula, operasi dilakukan melalui leher karena hanya memisahkan fistula tanpa memperbaiki esofagus.
d. Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana fistula ditutup dengan cara diikat dan dijahit kemudian dibuat anastomosis esofageal antara kedua ujung proximal dan distal dari esofagus.
e. Pada atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal, hampir selalu jarak antara esofagus proximal dan distal dapat disambung langsung. Ini disebut dengan primary repair, yaitu apabila jarak kedua ujung esofagus dibawah 2 ruas vertebra. Bila jaraknya 3-6 ruas vertebra, dilakukan delayed primary repair. Operasi ditunda selama paling lama 12 minggu, sambil dilakukan suction rutin dan pemberian makanan melalui gastrostomy, maka jarak kedua ujung esofagus akan menyempit kemudian dilakukan primary repair. Apabila jarak kedua ujung esofagus lebih dari 6 ruas vertebra, maka dicoba dilakukan tindakan diatas, apabila tidak bisa juga maka esofagus disambung dengan menggunakan sebagian kolon.
Anastomosis esofageal: Jahitan dilakukan di seluruh dinding esofagus (A). Penting untuk memastikan bahwa lapisan mukosa ikut terjahit (B). Kateter digunakan sebagai rangka anastomosis menghubungkan kedua ujung esofagus (C). Anastomosis kedua ujung esofagus dengan jahitan benang 5-0 absorbable selesai dilakukan (D).14,15
Tindakan Setelah Operasi
Pasca operasi pasien diventilasi selama 5 hari. Suction harus dilakukan secara rutin. Selang kateter untuk suction harus ditandai agar tidak masuk terlalu dalam dan mengenai bekas operasi tempat anastomosis agar tidak menimbulkan kerusakan. Setelah hari ke-3 bisa dimasukkan NGT untuk pemberian makanan.14
VIII. Prognosis
Prognosis bergantung pada jenis kelainan anatomi dari atresia dan adanya komplikasi.14,15
- Saat ini tingkat keberhasilan operasi atresia esofagus mencapai 90%
- Adanya defek kardiovaskular dan berat badan lahir rendah mempengaruhi ketahanan hidup
- Berdasarkan klasifikasi Spitz untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup berdasarkan berat badan lahir dan kelainan kardiovaskular, yaitu:
o Grup I – Berat Badan Lahir >1500 gram TANPA kelainan kardiovaskular, tingkat mortalitas 3%.
o Grup II – Berat Badan Lahir <1500 41="" atau="" br="" gram="" kardiovaskular="" kelainan="" mayor="" mortalitas="" terdapatnya="" tingkat="">
o Grup III – Berat Badan lahir <1500 78="" br="" dengan="" gram="" kardiovaskular="" kelainan="" mayor="" mortalitas="" terdapatnya="" tingkat="">
- Kelainan kardiovaskular mayor disini maksudnya ialah kelainan-kelainan kardiovaskular kongenital yang memerlukan tindakan bedah segera agar tidak terjadi gagal jantung.
- Kematian dini biasanya disebabkan kelainan kardiovaskular dan abnormalitas kromosom.
- Kematian lanjut biasanya akibat gangguan pernapasan.14
DAFTAR PUSTAKA
1. Torfs, Kluth. Esophageal atresia [online]. 2011 [cited on 2012Nov 23]. Available from: URL:http://www.dshs.state.tx.us/birthdefects/risk/risk16-esoph_atr.shtm
2. Mafula, Lina. Konsep dan Asuhan Keperawatan pada Bayi Baru Lahir Beserta Kelainannya. 2011 [cited on 2012Okt 23].
Available from: URL: http://www.scribd.com/doc/76029667/35/c-ETIOLOGI
3. Simorangkir, Bastian. Atresia Esophagus.2011. [cited on 2012Okt 23]
Available from: URL: http://www.scribd.com/doc/97197919/Atresia-Esofagus
4. Medline Plus. Esophageal atresia[online]. 2011 [cited on 2011Nov 8]. Available from: URL:www.in.gov/isdh/files/esophageal_atresia.pdf
5. Price, Sylvia. Patofisiologi:Clinical Concepts of Disease Processes. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.2006.hal 404-405
6. Faiz O, Moffat D. The oesophagus, trachea and the thyroid gland. Anatomy at a glance.1th Edition. USA: Blackwell Science; 2002. p.143.
7. Sloane, Ethel. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004. hal. 282.
8. Spitz Lewiz, Orphanet Journal of Rare Disease, Oesophageal Atresia, BioMed Central: 2007.
9. Atresia esofagus [online].24Okt 2012. Available at: http://www.scribd.com/document_downloads/direct/110506886?extension=pdf&ft=1350996441<=1351000051&uahk=FOUyo/EVoKYPVmFbPHB0vGcd04A
10. Rovels, Agber. Atresia esofagus.2010.p.7
11. Scott DA. Esophageal atresia/tracheoesophageal fistula overview [online]. 2011 [cited on 2012 Okt26]. Available from: URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK5192/?report=printable
12. Akalasia esofagus [online]. 27 Okt 2012.
Available at: http://ilmubedah.info/akalasia-esofagus-20110215.html
13. Yunita, Fitri. Akalasia.pptx [online] 27 Okt 2012.
Available at: http://www.scribd.com/doc/38581791/AKALASIA
14. Spitz Lewiz, Orphanet Journal of Rare Disease, Oesophageal Atresia, BioMed Central: 2007.
Available at: http://www.ojrd.com/content/2/1/24
15. Oesophageal Atresia [online] 27 Okt 2012.
Available at: http://www.patient.co.uk/printer.asp?doc=40000402
16. Mohpul, Ashari. Atresia Esofagus [online] 24 Okt 2012.
Available at: http://www.scribd.com/doc/101400600/Atresia-Esofagus
1500>1500>1>1>1>1>1>
KONDILOMA AKUMINATA / CONDYLOMA ACUMINATA
I. Pendahuluan
Beberapa manifestasi paling umum dari infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada kelamin yaitu Kondiloma Akuminata dan Papulosis Bowenoid. Penyakit ini paling sulit didiagnosis oleh ahli kulit, dokter kandungan, ginekolog dan urolog1,2.
Kondiloma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis yang disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus Virus (HPV), paling sering ditemukan di daerah genital dan jarang di selaput lendir. Sering terkait dengan HPV 6 dan 11 dengan masa inkubasi 3 minggu sampai 8 bulan. Cara penularan infeksi biasanya melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi sebelumnya, penularan ke janin atau bayi dari ibu yang telah terinfeksi sebelumnya dan risiko mengembangkan karsinoma sel skuamosa.3
Kondiloma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis yang disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus Virus (HPV) terutama disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Penyakit ini biasanya asimptomatik dan terdiri dari papilomatous papula atau nodul pada perineum, genitalia dan anus. Ada dua bentuk umum Kondiloma Akuminata, yaitu kondiloma akuminata dan gigantea, yang dikenal sebagai tumor Buschke-Löwenstein.1,3
II. Gambaran Umum Penyakit
Kondiloma akuminata (kondiloma akuminata, genital warts, kutil kelamin) atau lebih dikenal dengan istilah penyakit Jengger Ayam, mungkin karena bentuknya yang mirip jengger ayam pada kondiloma yang luas, adalah kelainan kulit berbentuk kutil dengan permukaan berlekuk-lekuk mirip jengger ayam yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu2.
HPV pertama kali diidentifikasikan pada tahun 1907. Kini, lebih 120 jenis subtipe HPV telah dapat diidentifikasi. Tapi tidak semua tipe dapat menyebabkan kondiloma akuminata. Sekitar 90 % kondiloma akuminata diyakini berhubungan dengan tipe 6 dan tipe 11. Para ahli mencurigai HPV tipe tertentu memiliki kecenderungan onkogenik (potensial menjadi kanker), terutama tipe 16 dan tipe 18.2
III. Etiologi dan Transmisi
Anogenital kutil (juga dikenal sebagai kutil kelamin, kondiloma acuminata, condylomas) adalah lesi proliferatif jinak yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe 6 dan 11. Cara penularan infeksi biasanya melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi sebelumnya, penularan ke janin atau bayi dari ibu yang telah terinfeksi sebelumnya, dan resiko mengembangkan karsinoma sel skuamosa.3,4
HPV dapat menembus sel-sel basal epidermis. Hal ini dapat mengaktifkan pembentukan protein, meningkatkan sel-sel proliferasi, penebalan lapisan yang keras sehingga dapat menimbulkan papillomatosa.1
IV. Epidemiologi
Saat ini kondiloma akuminata sekarang menjadi penyebab paling utama suatu penyakit menular seksual bahkan melebihi herpes genital. Kondiloma akuminata terjadi pada 5,5 juta orang Amerika setiap tahun dan diperkirakan memiliki prevalensi 20 juta. Kondiloma akuminata adalah infeksi anorektal yang paling umum yang mempengaruhi pria homoseksual. Namun, juga sering terjadi pada pria biseksual dan heteroseksual dan wanita. Meskipun cara penularan paling umum melalui hubungan seksual namun penyebab non seksual juga dapat terjadi. 5
Pada pasien HIV positif prevalensi HPV adalah 30%. Pengaruh infeksi HIV pada perjalanan penyakit HPV tidak jelas tetapi dapat dipengaruhi oleh tingkat keparahan immunocompromise dan terapi penggunaan antiretroviral. Infeksi oleh jenis risiko tinggi HPV dikaitkan dengan SIL (Squamous Intraepithelial Lesion) yang merupakan prekursor diduga menjadi kanker invasif. 5
V. Patofisiologi
Kondiloma akuminata dapat disebabkan kontak dengan penderita yang terinfeksi HPV. Sampai saat ini dikenal lebih dari 100 macam jenis HPV, yang sering menyebabkan kondiloma akuminata yaitu tipe 6 dan 11. HPV ini masuk melalui mikro lesi pada kulit, biasanya pada daerah kelamin dan melakukan penetrasi pada kulit sehingga menyebabkan abrasi permukaan epitel. Human Papilloma Virus adalah epiteliotropik; yang sifatnya mempunyai afinitas tinggi pada sel-sel epitel. Replikasinya tergantung pada adanya diferensiasi epitel skuamosa. Virus DNA (Deoxyribonucleic Acid) dapat ditemukan pada lapisan terbawah dari epitel. Protein kapsid dan virus infeksius ditemukan pada lapisan superfisial sel-sel yang berdiferensiasi. HPV dapat masuk ke lapisan basal, menyebabkan respon radang. Pada wanita menyebabkan keputihan dan infeksi mikroorganisme. HPV yang masuk ke lapisan basal sel epidermis dapat mengambil alih DNA dan mengalami replikasi yang tidak terkendali. Fase laten virus dimulai dengan tidak adanya tanda dan gejala yang dapat berlangsung sebulan bahkan setahun. Setelah fase laten, produksi virus DNA, kapsid dan partikel dimulai. Sel dari tuan rumah menjadi infeksius dari struktur koilosit atipik dari kondiloma akuminata (morphologic atypical koilocytosis of condiloma acuminate) berkembang.1,2 Lamanya inkubasi sejak pertama kali terpapar virus sekitar 3 minggu sampai 8 bulan atau dapat lebih lama.3 HPV yang masuk ke sel basal epidermis ini dapat menyebabkan nodul kemerahan di sekitar genitalia. Penumpukan nodul merah ini membentuk gambaran seperti bunga kol. Nodul ini bisa pecah dan terbuka sehingga terpajan mikroorganisme dan bisa terjadi penularan karena pelepasan virus bersama epitel.6
HPV yang masuk ke epitel dapat menyebabkan respon radang yang merangsang pelepasan mediator inflamasi yaitu histamin yang dapat menstimulasi saraf perifer. Stimulasi ini menghantarkan pesan gatal ke otak dan timbul impuls elektrokimia sepanjang nervus ke dorsal spinal cord kemudian ke thalamus dan dipersepsikan sebagai rasa gatal di korteks serebri. Pada wanita yang terinfeksi HPV dapat menyebabkan keputihan dan disertai infeksi mikroorganisme yang berbau, gatal dan rasa terbakar sehingga tidak nyaman pada saat melakukan hubungan seksual.6
VI. Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien dengan kondiloma akuminata datang dengan keluhan ringan. Keluhan yang paling sering adalah ada bejolan atau terdapat lesi di perianal.4
1. Gejala
Kebanyakan pasien hanya mengeluhkan adanya lesi, yang dinyatakan tanpa gejala. Jarang terdapat gejala seperti gatal, perdarahan, atau dispaurenia4.
2. Tanda-Tanda Fisik
Lesi sering ditemukan di daerah yang mengalami trauma selama hubungan seksual dan mungkin soliter tetapi sering akan ada 5 sampai 15 lesi dari 1-5 mm diameter. Kutil dapat menyatu menjadi plak yang lebih besar dan ini lebih sering terlihat dengan imunosupresi dan diabetes. Pada pria yang tidak disunat, rongga prepusium (glans penis, sulkus koronal, frenulum) yang paling sering terkena, sementara pria yang telah di disunat biasanya terdapat di batang penis.4
Kandiloma Akuminata pada pria dapat juga terjadi pada orificium uretra, pubis, skrotum, pangkal paha, perineum, daerah perianal, dan anus. Pada perempuan, lesi dapat terjadi pada labia minora, labia mayora, pubis, klitoris, orificium uretra, perineum, daerah perianal, anus, introitus, vagina, dan ectocervix.4
Kutil anogenital dapat bervariasi secara signifikan dalam warna, dari merah muda ke salmon merah, putih keabu-abuan sampai coklat (lesi berpigmen). Kondiloma Akuminata umumnya berupa lesi yang tidak berpigmen. Lesi berpigmen sebagian besar dapat terlihat pada labia mayora, pubis, selangkang, perineum, dan daerah perianal4.
VII. Diagnosis
Dalam beberapa kasus diagnosis kondiloma akuminata sulit ditetapkan, karena langka dan memiliki gambaran klinis yang berbeda-beda.
Adapun cara diagnosis yang menjadi poin kunci sebagai berikut4:
a. Periksa dengan cahaya yang baik, sebuah lensa yang mungkin berguna untuk lesi kecil.
b. Pada pria, selalu periksa meatus, dan memiliki ambang yang rendah untuk memeriksa daerah perianal proktoskopi untuk memeriksa lubang anus. Pada wanita, selalu memeriksa daerah perianal dan melakukan pemeriksaan spekulum untuk membedakan serviks atau lesi pada vagina.
c. Biopsi tidak diperlukan untuk kutil anogenital yang khas, biopsi harus selalu dilakukan jika ada kecurigaan pra-kanker atau kanker, dan dapat berguna untuk diferensial diagnosis.
d. Tidak semua lesi papular disebabkan oleh HPV. Selalu mempertimbangkan varian yang normal.
VIII. Diagnosis Banding
Diagnosis banding kondiloma akuminata adalah :
1. Veruka Vulgaris: Vegetasi yang tidak bertangkai, kering dan berwarna abu-abu atau sama dengan warna kulit.6
Gambar 3. Veruka vulgaris pada tangan. Tampak multipel veruka pada tangan.7
2. Karsinoma Sel Skuamosa: Vegetasi yang seperti kembang kol. Mudah berdarah, dan berbau.6
Gambar 4. Karsinoma Sel skuamosa: Penis.7
IX. Pengobatan
Karena risiko penularan, serta risiko untuk pengembangan karsinoma sel skuamosa, lesi umumnya harus diobati. Banyak metode pengobatan kondiloma akuminata tetapi secara umum dapat dibedakan menjadi topikal, dan bedah.5
1. Topikal
a. Podophyllin
Podophyllin adalah bahan kimia yang paling terkenal dan paling banyak tersedia dalam bentuk topikal. Pertama direkomendasikan untuk pengobatan kondiloma oleh Culp dan Kaplan pada tahun 1942, bahan ini adalah agen sitotoksik yang berasal dari resin podofilum emodi dan peltatum podofilum yang mengandung senyawa lignin biologis aktif, termasuk podofilox, yang merupakan komponen paling aktif terhadap kondiloma akuminata. Podophyllin memiliki keuntungan menjadi mudah digunakan dan sangat murah. Konsentrasi dari 5 sampai 50% telah digunakan tanpa banyak perbedaan dalam keberhasilan. Podophyllin diterapkan langsung ke kondiloma akuminata dengan hati-hati untuk menghindari kulit normal yang berdekatan.5
Beberapa kelemahan, termasuk keterbatasan penggunaan dan toksisitas sistemik. Podophyllin harus dicuci setelah 6 jam karena sangat mengiritasi kulit normal di sekitarnya dan menyebabkan reaksi lokal yang parah berupa dermatitis, nekrosis, dan jaringan parut. 5
b. Bichloracetic Acid atau Trichloracetic Acid
Bichloracetic Acid adalah keratolitik kuat dan telah berhasil digunakan untuk terapi kondiloma akuminata. Seperti podophyllin, Bichloracetic Acid atau Trichloracetic Acid murah dan mudah diterapkan. Namun, juga dapat menyebabkan iritasi kulit lokal dan seringkali memerlukan kunjungan beberapa kali, umumnya pada interval mingguan. Dalam sebuah studi oleh Swerdlow dan Salvati, bichloracetic acid dan trichloracetic acid lebih nyaman digunakan oleh pasien dan memiliki kemungkinan kekambuhan yang minimal dibandingkan yang lain5.
c. Kemoterapi
Berbagai agen kemoterapi digunakan untuk pengobatan kondiloma telah diuraikan, termasuk 5-fluorouracil (5-FU) sebagai krim atau asam salisilat, thiotepa, bleomycin, dinitrochlorobenzene dalam aseton, krim dan idoxuridine.5
2. Bedah Terapi
a. Elektrokauter
Elektrokauter adalah cara yang efektif untuk menghancurkan kondiloma akuminata di anus internal dan eksternal tetapi teknik ini memerlukan anestesi lokal dan tergantung pada keterampilan operator untuk mengontrol kedalaman dan lebar kauterisasi tersebut. Mengontrol kedalaman luka penting untuk mencegah jaringan parut dan luka pada sfingter ani mendasarinya. Luka bakar melingkar harus dihindari untuk mencegah stenosis ani. Jika penyakit ini sangat luas atau melingkar, upaya-upaya harus dilakukan untuk mempertahankan kontinuitas kulit.5
b. Terapi Laser
Terapi laser karbon dioksida untuk menghancurkan kondiloma pertama kali dilaporkan oleh Baggish pada tahun 1980. Sebuah tingkat keberhasilan keseluruhan dari 88 sampai 95% telah dilaporkan. Ini mirip dengan elektrokauter, namun ablasi laser memiliki tingkat kekambuhan tinggi dan menimbulkan nyeri pasca operasi.5
c. Eksisi bedah
Eksisi bedah telah lama digunakan untuk mengobati kondiloma akuminata dengan tingkat keberhasilan tinggi. Kombinasi eksisi dan elektrokauter dianggap sebagai gold standard untuk pengobatan kondiloma akuminata.5
X. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut4:
1. Pasien wanita harus diberitahu tentang skrining sitologi serviks sesuai dengan pedoman lokal/nasional. Rekomendasi di Inggris adalah bahwa perempuan dengan kondiloma akuminata harus diskrining sesuai dengan pedoman standar.
2. Konseling tentang PMS (Penyakit Menular Seksual) dan pencegahan penularannya.
3. Analisis apakah kondom melindungi terhadap penularan HPV yang lebih kompleks dengan hasil yang beragam. Namun data terbaru menunjukkan bahwa penggunaan kondom laki-laki dapat melindungi perempuan terhadap penularan HPV.
XI. Komplikasi
1. Fisik dan Psikoseksual Implikasi
Kondiloma Akuminata sering dianggap sebagai dampak dari gaya hidup seksual yang buruk.. Dapat menimbulkan perasaan cemas, rasa bersalah, kemarahan, dan kehilangan harga diri, dan membuat kekhawatiran tentang kesuburan masa depan dan risiko kanker4.
2. Pra-Kanker dan Kanker
Pra-Kanker (vulva, dubur, dan penis intra-epitel neoplasia, yaitu VIN (Vulva Intraepithelial Neoplasia), AIN (Anal Intraepithelial Neoplasia), dan PIN (Penis Intraepithelial Neoplasia)) atau lesi invasif (vulva, dubur, dan kanker penis) dapat muncul bersamaan dengan kondiloma akuminata, dan salah didiagnosa sebagai kondiloma akuminata. Bowenoid papulosis (BP) adalah lesi coklat kemerahan terkait dengan onkogenik jenis HPV dan merupakan bagian dari spektrum klinis neoplasia intraepithelial anogenital. Kecurigaan klinis perubahan neoplastik harus dipertimbangkan oleh banyaknya perdarahan banyak. Melakukan biopsi atau rujukan spesialis yang tepat harus dipertimbangkan. Varian lain yang jarang HPV 6/11 adalah kondiloma raksasa atau Buschke-Lowenstein tumor. Bentuk ini merupkan suatu karsinoma verukosa, ditandai dengan infiltrasi lokal yang agresif hingga ke bagian dasar. Keadaan ini diperlukan penanganan lebih lanjut (spesialis bedah onkologi). Suatu laporan menunjukkan hasil yang baik dengan kemo-radioterapi. 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakardzhiev I, Pehlivanov G, Stransky D, Gonevski M. Treatment of Candylomata Acuminata and Bowenoid Papulosis With CO2 Laser and Imiquimod. J of IMAB- Annual Procceding (Scientific Papers). 2012;18:246-9.
2. Hatmoko. Condyloma Acuminata. 2009:2-5.
3. Dias EP, Gouvea ALF, Eyer CC. Condyoma Acuminatum: its histopathological Pattern. São Paulo Medical Journal. 1997.
4. Lacey C, Woodhall S, Wikstrom A, Ross J. European guideline for the management of anogenital warts. IUSTI GW Guidelines. 2011:2-11.
5. Chang GJ, Welton M. Human Papilloma Virus, Condylonata Acuminata, and Anal Naoplasia. Clinic in Colon and Rectal Surgery. 2004., 17(4), p. 221-230.
6. Djuanda A. Penyakit Virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 112-4.
7. Fitzpatrick TB, Wolff K, Allen R. Color atlas & Synopsis of Clinical Dermatology , 6th edition. New York: McGraw-Hill Inc, 2009.p. 789,861-9,910.
readmore »»
Beberapa manifestasi paling umum dari infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada kelamin yaitu Kondiloma Akuminata dan Papulosis Bowenoid. Penyakit ini paling sulit didiagnosis oleh ahli kulit, dokter kandungan, ginekolog dan urolog1,2.
Kondiloma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis yang disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus Virus (HPV), paling sering ditemukan di daerah genital dan jarang di selaput lendir. Sering terkait dengan HPV 6 dan 11 dengan masa inkubasi 3 minggu sampai 8 bulan. Cara penularan infeksi biasanya melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi sebelumnya, penularan ke janin atau bayi dari ibu yang telah terinfeksi sebelumnya dan risiko mengembangkan karsinoma sel skuamosa.3
Kondiloma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis yang disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus Virus (HPV) terutama disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Penyakit ini biasanya asimptomatik dan terdiri dari papilomatous papula atau nodul pada perineum, genitalia dan anus. Ada dua bentuk umum Kondiloma Akuminata, yaitu kondiloma akuminata dan gigantea, yang dikenal sebagai tumor Buschke-Löwenstein.1,3
II. Gambaran Umum Penyakit
Kondiloma akuminata (kondiloma akuminata, genital warts, kutil kelamin) atau lebih dikenal dengan istilah penyakit Jengger Ayam, mungkin karena bentuknya yang mirip jengger ayam pada kondiloma yang luas, adalah kelainan kulit berbentuk kutil dengan permukaan berlekuk-lekuk mirip jengger ayam yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe tertentu2.
HPV pertama kali diidentifikasikan pada tahun 1907. Kini, lebih 120 jenis subtipe HPV telah dapat diidentifikasi. Tapi tidak semua tipe dapat menyebabkan kondiloma akuminata. Sekitar 90 % kondiloma akuminata diyakini berhubungan dengan tipe 6 dan tipe 11. Para ahli mencurigai HPV tipe tertentu memiliki kecenderungan onkogenik (potensial menjadi kanker), terutama tipe 16 dan tipe 18.2
III. Etiologi dan Transmisi
Anogenital kutil (juga dikenal sebagai kutil kelamin, kondiloma acuminata, condylomas) adalah lesi proliferatif jinak yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV) tipe 6 dan 11. Cara penularan infeksi biasanya melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi sebelumnya, penularan ke janin atau bayi dari ibu yang telah terinfeksi sebelumnya, dan resiko mengembangkan karsinoma sel skuamosa.3,4
HPV dapat menembus sel-sel basal epidermis. Hal ini dapat mengaktifkan pembentukan protein, meningkatkan sel-sel proliferasi, penebalan lapisan yang keras sehingga dapat menimbulkan papillomatosa.1
IV. Epidemiologi
Saat ini kondiloma akuminata sekarang menjadi penyebab paling utama suatu penyakit menular seksual bahkan melebihi herpes genital. Kondiloma akuminata terjadi pada 5,5 juta orang Amerika setiap tahun dan diperkirakan memiliki prevalensi 20 juta. Kondiloma akuminata adalah infeksi anorektal yang paling umum yang mempengaruhi pria homoseksual. Namun, juga sering terjadi pada pria biseksual dan heteroseksual dan wanita. Meskipun cara penularan paling umum melalui hubungan seksual namun penyebab non seksual juga dapat terjadi. 5
Pada pasien HIV positif prevalensi HPV adalah 30%. Pengaruh infeksi HIV pada perjalanan penyakit HPV tidak jelas tetapi dapat dipengaruhi oleh tingkat keparahan immunocompromise dan terapi penggunaan antiretroviral. Infeksi oleh jenis risiko tinggi HPV dikaitkan dengan SIL (Squamous Intraepithelial Lesion) yang merupakan prekursor diduga menjadi kanker invasif. 5
V. Patofisiologi
Kondiloma akuminata dapat disebabkan kontak dengan penderita yang terinfeksi HPV. Sampai saat ini dikenal lebih dari 100 macam jenis HPV, yang sering menyebabkan kondiloma akuminata yaitu tipe 6 dan 11. HPV ini masuk melalui mikro lesi pada kulit, biasanya pada daerah kelamin dan melakukan penetrasi pada kulit sehingga menyebabkan abrasi permukaan epitel. Human Papilloma Virus adalah epiteliotropik; yang sifatnya mempunyai afinitas tinggi pada sel-sel epitel. Replikasinya tergantung pada adanya diferensiasi epitel skuamosa. Virus DNA (Deoxyribonucleic Acid) dapat ditemukan pada lapisan terbawah dari epitel. Protein kapsid dan virus infeksius ditemukan pada lapisan superfisial sel-sel yang berdiferensiasi. HPV dapat masuk ke lapisan basal, menyebabkan respon radang. Pada wanita menyebabkan keputihan dan infeksi mikroorganisme. HPV yang masuk ke lapisan basal sel epidermis dapat mengambil alih DNA dan mengalami replikasi yang tidak terkendali. Fase laten virus dimulai dengan tidak adanya tanda dan gejala yang dapat berlangsung sebulan bahkan setahun. Setelah fase laten, produksi virus DNA, kapsid dan partikel dimulai. Sel dari tuan rumah menjadi infeksius dari struktur koilosit atipik dari kondiloma akuminata (morphologic atypical koilocytosis of condiloma acuminate) berkembang.1,2 Lamanya inkubasi sejak pertama kali terpapar virus sekitar 3 minggu sampai 8 bulan atau dapat lebih lama.3 HPV yang masuk ke sel basal epidermis ini dapat menyebabkan nodul kemerahan di sekitar genitalia. Penumpukan nodul merah ini membentuk gambaran seperti bunga kol. Nodul ini bisa pecah dan terbuka sehingga terpajan mikroorganisme dan bisa terjadi penularan karena pelepasan virus bersama epitel.6
HPV yang masuk ke epitel dapat menyebabkan respon radang yang merangsang pelepasan mediator inflamasi yaitu histamin yang dapat menstimulasi saraf perifer. Stimulasi ini menghantarkan pesan gatal ke otak dan timbul impuls elektrokimia sepanjang nervus ke dorsal spinal cord kemudian ke thalamus dan dipersepsikan sebagai rasa gatal di korteks serebri. Pada wanita yang terinfeksi HPV dapat menyebabkan keputihan dan disertai infeksi mikroorganisme yang berbau, gatal dan rasa terbakar sehingga tidak nyaman pada saat melakukan hubungan seksual.6
VI. Manifestasi Klinis
Kebanyakan pasien dengan kondiloma akuminata datang dengan keluhan ringan. Keluhan yang paling sering adalah ada bejolan atau terdapat lesi di perianal.4
1. Gejala
Kebanyakan pasien hanya mengeluhkan adanya lesi, yang dinyatakan tanpa gejala. Jarang terdapat gejala seperti gatal, perdarahan, atau dispaurenia4.
2. Tanda-Tanda Fisik
Lesi sering ditemukan di daerah yang mengalami trauma selama hubungan seksual dan mungkin soliter tetapi sering akan ada 5 sampai 15 lesi dari 1-5 mm diameter. Kutil dapat menyatu menjadi plak yang lebih besar dan ini lebih sering terlihat dengan imunosupresi dan diabetes. Pada pria yang tidak disunat, rongga prepusium (glans penis, sulkus koronal, frenulum) yang paling sering terkena, sementara pria yang telah di disunat biasanya terdapat di batang penis.4
Kandiloma Akuminata pada pria dapat juga terjadi pada orificium uretra, pubis, skrotum, pangkal paha, perineum, daerah perianal, dan anus. Pada perempuan, lesi dapat terjadi pada labia minora, labia mayora, pubis, klitoris, orificium uretra, perineum, daerah perianal, anus, introitus, vagina, dan ectocervix.4
Kutil anogenital dapat bervariasi secara signifikan dalam warna, dari merah muda ke salmon merah, putih keabu-abuan sampai coklat (lesi berpigmen). Kondiloma Akuminata umumnya berupa lesi yang tidak berpigmen. Lesi berpigmen sebagian besar dapat terlihat pada labia mayora, pubis, selangkang, perineum, dan daerah perianal4.
VII. Diagnosis
Dalam beberapa kasus diagnosis kondiloma akuminata sulit ditetapkan, karena langka dan memiliki gambaran klinis yang berbeda-beda.
Adapun cara diagnosis yang menjadi poin kunci sebagai berikut4:
a. Periksa dengan cahaya yang baik, sebuah lensa yang mungkin berguna untuk lesi kecil.
b. Pada pria, selalu periksa meatus, dan memiliki ambang yang rendah untuk memeriksa daerah perianal proktoskopi untuk memeriksa lubang anus. Pada wanita, selalu memeriksa daerah perianal dan melakukan pemeriksaan spekulum untuk membedakan serviks atau lesi pada vagina.
c. Biopsi tidak diperlukan untuk kutil anogenital yang khas, biopsi harus selalu dilakukan jika ada kecurigaan pra-kanker atau kanker, dan dapat berguna untuk diferensial diagnosis.
d. Tidak semua lesi papular disebabkan oleh HPV. Selalu mempertimbangkan varian yang normal.
VIII. Diagnosis Banding
Diagnosis banding kondiloma akuminata adalah :
1. Veruka Vulgaris: Vegetasi yang tidak bertangkai, kering dan berwarna abu-abu atau sama dengan warna kulit.6
Gambar 3. Veruka vulgaris pada tangan. Tampak multipel veruka pada tangan.7
2. Karsinoma Sel Skuamosa: Vegetasi yang seperti kembang kol. Mudah berdarah, dan berbau.6
Gambar 4. Karsinoma Sel skuamosa: Penis.7
IX. Pengobatan
Karena risiko penularan, serta risiko untuk pengembangan karsinoma sel skuamosa, lesi umumnya harus diobati. Banyak metode pengobatan kondiloma akuminata tetapi secara umum dapat dibedakan menjadi topikal, dan bedah.5
1. Topikal
a. Podophyllin
Podophyllin adalah bahan kimia yang paling terkenal dan paling banyak tersedia dalam bentuk topikal. Pertama direkomendasikan untuk pengobatan kondiloma oleh Culp dan Kaplan pada tahun 1942, bahan ini adalah agen sitotoksik yang berasal dari resin podofilum emodi dan peltatum podofilum yang mengandung senyawa lignin biologis aktif, termasuk podofilox, yang merupakan komponen paling aktif terhadap kondiloma akuminata. Podophyllin memiliki keuntungan menjadi mudah digunakan dan sangat murah. Konsentrasi dari 5 sampai 50% telah digunakan tanpa banyak perbedaan dalam keberhasilan. Podophyllin diterapkan langsung ke kondiloma akuminata dengan hati-hati untuk menghindari kulit normal yang berdekatan.5
Beberapa kelemahan, termasuk keterbatasan penggunaan dan toksisitas sistemik. Podophyllin harus dicuci setelah 6 jam karena sangat mengiritasi kulit normal di sekitarnya dan menyebabkan reaksi lokal yang parah berupa dermatitis, nekrosis, dan jaringan parut. 5
b. Bichloracetic Acid atau Trichloracetic Acid
Bichloracetic Acid adalah keratolitik kuat dan telah berhasil digunakan untuk terapi kondiloma akuminata. Seperti podophyllin, Bichloracetic Acid atau Trichloracetic Acid murah dan mudah diterapkan. Namun, juga dapat menyebabkan iritasi kulit lokal dan seringkali memerlukan kunjungan beberapa kali, umumnya pada interval mingguan. Dalam sebuah studi oleh Swerdlow dan Salvati, bichloracetic acid dan trichloracetic acid lebih nyaman digunakan oleh pasien dan memiliki kemungkinan kekambuhan yang minimal dibandingkan yang lain5.
c. Kemoterapi
Berbagai agen kemoterapi digunakan untuk pengobatan kondiloma telah diuraikan, termasuk 5-fluorouracil (5-FU) sebagai krim atau asam salisilat, thiotepa, bleomycin, dinitrochlorobenzene dalam aseton, krim dan idoxuridine.5
2. Bedah Terapi
a. Elektrokauter
Elektrokauter adalah cara yang efektif untuk menghancurkan kondiloma akuminata di anus internal dan eksternal tetapi teknik ini memerlukan anestesi lokal dan tergantung pada keterampilan operator untuk mengontrol kedalaman dan lebar kauterisasi tersebut. Mengontrol kedalaman luka penting untuk mencegah jaringan parut dan luka pada sfingter ani mendasarinya. Luka bakar melingkar harus dihindari untuk mencegah stenosis ani. Jika penyakit ini sangat luas atau melingkar, upaya-upaya harus dilakukan untuk mempertahankan kontinuitas kulit.5
b. Terapi Laser
Terapi laser karbon dioksida untuk menghancurkan kondiloma pertama kali dilaporkan oleh Baggish pada tahun 1980. Sebuah tingkat keberhasilan keseluruhan dari 88 sampai 95% telah dilaporkan. Ini mirip dengan elektrokauter, namun ablasi laser memiliki tingkat kekambuhan tinggi dan menimbulkan nyeri pasca operasi.5
c. Eksisi bedah
Eksisi bedah telah lama digunakan untuk mengobati kondiloma akuminata dengan tingkat keberhasilan tinggi. Kombinasi eksisi dan elektrokauter dianggap sebagai gold standard untuk pengobatan kondiloma akuminata.5
X. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut4:
1. Pasien wanita harus diberitahu tentang skrining sitologi serviks sesuai dengan pedoman lokal/nasional. Rekomendasi di Inggris adalah bahwa perempuan dengan kondiloma akuminata harus diskrining sesuai dengan pedoman standar.
2. Konseling tentang PMS (Penyakit Menular Seksual) dan pencegahan penularannya.
3. Analisis apakah kondom melindungi terhadap penularan HPV yang lebih kompleks dengan hasil yang beragam. Namun data terbaru menunjukkan bahwa penggunaan kondom laki-laki dapat melindungi perempuan terhadap penularan HPV.
XI. Komplikasi
1. Fisik dan Psikoseksual Implikasi
Kondiloma Akuminata sering dianggap sebagai dampak dari gaya hidup seksual yang buruk.. Dapat menimbulkan perasaan cemas, rasa bersalah, kemarahan, dan kehilangan harga diri, dan membuat kekhawatiran tentang kesuburan masa depan dan risiko kanker4.
2. Pra-Kanker dan Kanker
Pra-Kanker (vulva, dubur, dan penis intra-epitel neoplasia, yaitu VIN (Vulva Intraepithelial Neoplasia), AIN (Anal Intraepithelial Neoplasia), dan PIN (Penis Intraepithelial Neoplasia)) atau lesi invasif (vulva, dubur, dan kanker penis) dapat muncul bersamaan dengan kondiloma akuminata, dan salah didiagnosa sebagai kondiloma akuminata. Bowenoid papulosis (BP) adalah lesi coklat kemerahan terkait dengan onkogenik jenis HPV dan merupakan bagian dari spektrum klinis neoplasia intraepithelial anogenital. Kecurigaan klinis perubahan neoplastik harus dipertimbangkan oleh banyaknya perdarahan banyak. Melakukan biopsi atau rujukan spesialis yang tepat harus dipertimbangkan. Varian lain yang jarang HPV 6/11 adalah kondiloma raksasa atau Buschke-Lowenstein tumor. Bentuk ini merupkan suatu karsinoma verukosa, ditandai dengan infiltrasi lokal yang agresif hingga ke bagian dasar. Keadaan ini diperlukan penanganan lebih lanjut (spesialis bedah onkologi). Suatu laporan menunjukkan hasil yang baik dengan kemo-radioterapi. 4
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakardzhiev I, Pehlivanov G, Stransky D, Gonevski M. Treatment of Candylomata Acuminata and Bowenoid Papulosis With CO2 Laser and Imiquimod. J of IMAB- Annual Procceding (Scientific Papers). 2012;18:246-9.
2. Hatmoko. Condyloma Acuminata. 2009:2-5.
3. Dias EP, Gouvea ALF, Eyer CC. Condyoma Acuminatum: its histopathological Pattern. São Paulo Medical Journal. 1997.
4. Lacey C, Woodhall S, Wikstrom A, Ross J. European guideline for the management of anogenital warts. IUSTI GW Guidelines. 2011:2-11.
5. Chang GJ, Welton M. Human Papilloma Virus, Condylonata Acuminata, and Anal Naoplasia. Clinic in Colon and Rectal Surgery. 2004., 17(4), p. 221-230.
6. Djuanda A. Penyakit Virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 112-4.
7. Fitzpatrick TB, Wolff K, Allen R. Color atlas & Synopsis of Clinical Dermatology , 6th edition. New York: McGraw-Hill Inc, 2009.p. 789,861-9,910.
VARISELA / VARICELLA
I. Pendahuluan
Penyakit cacar air (varisela) mungkin sudah tidak asing lagi dan merupakan penyakit yang mendunia. Varisela merupakan penyakit menular yang dapat menyerang siapa saja, terutama mereka yang belum mendapatkan imunisasi. Di Indonesia, tidak banyak data yang mencatat kasus varisela atau cacar air secara nasional. Data yang tercatat merupakan data epidemi cacar air pada daerah tertentu saja. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas menyebutkan, selama periode Januari hingga November 2007, sedikitnya 691 warga terkena penyakit cacar air atau varisela.(1)
Varisela merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Varicella-Zoster yang hingga kini masih tetap menjadi epidemi di dunia dan di Indonesia. Walaupun infeksi Varisela zoster tergolong ke dalam infeksi ringan, namun dalam kondisi defisiensi imun penyakit dapat menjadi berat dan tidak menutup kemungkinan berujung kepada kematian.(1)
Varicella-Zooster Virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome DNA double stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein.(2)
Virus Varicella-Zoster dapat menyebabkan infeksi primer, laten, dan rekuren. Infeksi primer bermanifestasi sebagai varisela (chickenpox); reaktivasi dari infeksi laten menyebabkan herpes zoster (shingles). Penyakit ini sangat menular dengan karakteristik lesi-lesi vesikel kemerahan. Reaktivasi laten dari virus varisela zoster umumnya terjadi pada dekade ke enam dengan munculnya shingles yang berkarakteristik sebagai lesi vesikular terbatas pada dermatom tertentu dan disertai rasa sakit yang hebat.(1)
II. Defenisi
Penyakit cacar air adalah penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh virus Varicella-Zoster yang dapat bermanifestasi menjadi varisela (chickenpox) dan reaktivasi latennya menimbulkan herpes zoster (shingles).(1)
Varisela biasanya merupakan penyakit terbatas yang berlangsung 4 hingga 5 hari dan ditandai dengan demam, malaise, dan ruam vesikular generalisata biasanya terdiri dari 250-500 lesi. Bayi, remaja, dewasa, dan orang-orang yang immunocompromised berada pada risiko tinggi untuk komplikasi.(3)
III. Etiologi
Chickenpox dan shingles disebabkan oleh Varicella-Zooster Virus (VZV) dari famili virus herpes, sangat mirip dengan Herpes Simplex Virus. Virus ini mempunyai amplop, berbentuk ikosahedral, dan memiliki DNA berantai ganda yang mengkode lebih dari 70 macam protein.(1)
Varisela zoster virus (VZV) adalah Human Herpes Virus neurotropik yang menyebabkan kurang empat juta kasus cacar setiap tahunnya. Setelah cacar, VZV menjadi laten pada saraf kranial, dorsal akar dan ganglia sistem saraf otonom sepanjang neuraxis.(4)
Varicella-Zoster Virus (VZV) atau virus herpes, terdiri dari genom DNA berantai ganda dikelilingi oleh protein dan terkandung dalam suatu selubung dari ikosahedral dan lipid pada membran luar. Genom VZV memiliki 69 gen yang berbeda yang mengkode protein membentuk virus dan masuk ke dalam sel inang. Replikasi virus DNA dan sintesis virion baru menyebar ke sel yang tidak terinfeksi berdekatan.(5)
VZV, seperti human herpes virus lainnya, merupakan ancaman bagi penerima transplantasi sel hematopoietik (HCT). Selama infeksi primer, yang menyebabkan varisela, VZV menetapkan latensi dalam sel-sel ganglia akar dorsal sensorik. Di antara pasien dewasa HCT, sebagian besar infeksi VZV menandakan pengaktifan kembali virus laten. Herpes zoster klasik, dengan ruam vesikuler dermatomal adalah gejala klinis yang paling umum disebabkan oleh reaktivasi VZV, namun beberapa penerima HCT memiliki eksantema vesikular umum yang menyerupai varisela, sindrom nyeri neuropatik, atau keterlibatan organ yang tidak terkait dengan ruam apapun.(5)
IV. Epidemiologi
Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin maupun ras. Penyakit ini sangat menular dengan attack rate ± 90% terhadap orang yang rentan. Insidensinya berkisar antara 65-86% dengan masa penularan 24-48 jam sebelum lesi kulit muncul serta 3-7 hari setelah lesi muncul. Sekitar 50% kasus terjadi pada anak-anak usia 5-9 tahun, banyak pula ditemukan pada usia 1-4 tahun dan 10-14 tahun, 11.000 kasus diperlukan perawatan di rumah sakit dan 100 meninggal setiap tahunnya.(1)
Varisela Perinatal dengan kematian dapat terjadi apabila ibu hamil terjangkit varisela pada 5 hari sebelum melahirkan atau 48 jam setelah melahirkan. Kematian berkaitan dengan rendahnya sistem imununitas pada neonatus. Varisela Kongenital ditandai dengan hipoplasia ekstremitas, lesi kulit, dan mikrosefali. Secara keseluruhan, insiden dari herpes zoster adalah 215 per 100.000 orang per tahun. Sekitar 75% kasus terjadi pada umur di atas 45 tahun, insidens akan meningkat pada penderita dengan sistem imun rendah.(1)
Epidemiologi cacar tampaknya berubah. Dijelaskan bahwa telah terjadi pergeseran dalam distribusi usia kasus selama 20 tahun terakhir. Hal ini tercermin dari peningkatan konsultasi untuk cacar air dalam praktek umum dan lebih banyak kematian di Inggris dan Wales. Berdasarkan data penerimaan rumah sakit untuk cacar air pada orang dewasa muda, ada bukti yang mirip tren di Amerika Serikat. Perubahan epidemiologi memiliki konsekuensi penting bagi masa depan seperti kematian dan risiko infeksi pada petugas kesehatan dan ibu hamil.(6)
Cacar air umumnya dianggap sebagai penyakit ringan di negara-negara dimana sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak imunokompeten, komplikasi jarang terjadi dengan kurang dari 2 kematian per 100.000 kasus pada anak-anak usia 1-14 tahun. Sebaliknya, pada orang dewasa, cacar air lebih sering dikaitkan dengan komplikasi dan kematian. Penjelasan klinis Varisela pneumonia terjadi pada 1 dalam 400 kasus dan sangat parah pada perokok. Varisela ensefalitis adalah komplikasi lebih serius, dengan mortalitas 10% dan jangka panjang hingga 15% dari korban.(6)
Varisela terdapat di seluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varisela terutama mengenai anak-anak berusia di bawah 20 tahun terutama 3 higga 6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Di Amerika, varisela sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan di Jepang, umumnya terjadi pada anak-anak di bawah usia 6 tahun sebanyak 81,4%.(2)
V. Patogenesis
VZV merupakan virus yang menular selama 1-2 hari sebelum lesi kulit muncul, dapat ditularkan melalui jalur respirasi, dan menimbulkan lesi pada orofaring, lesi inilah yang memfasilitasi penyebaran virus melalui jalur traktus respiratorius. Pada fase ini, penularan terjadi melalui droplet kepada membran mukosa orang sehat misalnya konjungtiva. Masa inkubasi berlangsung sekitar 14 hari, dimana virus akan menyebar ke kelenjar limfe, kemudian menuju ke hati dan sel-sel mononuklear. VZV yang ada dalam sel mononuklear mulai menghilang 24 jam sebelum terjadinya ruam kulit; pada penderita immunocrompomised, virus menghilang lebih lambat yaitu 24-72 jam setelah timbulnya ruam kulit.(2)
Virus-virus ini bermigrasi dan bereplikasi dari kapiler menuju ke jaringan kulit dan menyebabkan lesi makulopapular, vesikuler, dan krusta. Infeksi ini menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel membentuk sel multinukleus yang ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik intranuklear. Perkembangan vesikel berhubungan dengan peristiwa “ballooning”, yakni degenerasi sel epitelial akan menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh cairan. Penyebaran lesi di kulit diketahui disebabkan oleh adanya protein ORF47 kinase yang berguna pada proses replikasi virus. VZV dapat menyebabkan terjadinya infeksi diseminata yang biasanya berhubungan dengan rendahnya sistem imun dari penderita.(1)
Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14 hingga16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang khas. Seorang anak yang menderita varisela akan menularkan kepada orang lain 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit.(2)
Pada herpes zoster, patogenesisnya belum seluruhnya diketahui. Selama terjadinya varisela, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris dan ditransportasikan secara centripetal melalui serabut syaraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus.(2)
VI. Manifestasi Klinis
Dimulai dengan gejala prodromal seperti demam, malaise, sakit kepala, dan nyeri abdomen, yang berlangsung 24 hingga 48 jam sebelum lesi kulit muncul. Gejala sistemik seperti demam, lelah, dan anoreksia dapat timbul bersamaan dengan lesi kulit. Gejala pada saluran pernafasan dan muntah jarang sekali terjadi. Lesi kulit awal mengenai kulit kepala, muka, badan, biasanya sangat gatal, berupa makula kemerahan, kemudian berubah menjadi lesi vesikel kecil dan berisi cairan di dalamnya, seperti tampilan tetesan air mata. Penyembuhannya ditandai dengan terbentuknya sel epitel kulit baru yang muncul dari dasar lesi. Hipopigmentasi dapat terjadi akibat penyembuhan lesi. Parut atau bekas luka jarang terjadi akibat infeksi varisela.(1)
Gambar 1. Dikutip dari kepustakaan 7
Lesi pada varisela, diawali pada daerah wajah dan scalp, kemudian meluas ke dada (penyebaran secara sentripetal) dan kemudian dapat meluas ke ekstremitas. Lesi juga dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi pada varisela biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya semua stadium lesi secara bersamaan.(2)
Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa padadaerah wajah dan dada, dan kemudian berubah cepat dalam waktu 12-14 jam menjadi papul dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang jernih dengan dasar eritematosa.(2)
Vesikel yang terbentuk dengan dasar yang eritematosa mempunyai gambaran klasik yaitu letaknya superfisial dan mempunyai dinding yang tipis sehingga terlihat seperti kumpulan tetesan air di atas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm, berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau tampak vesikel seperti titik-titik embun di atas daun bunga mawar (dew drop on a rose petal). Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan masunya sel radang sehingga pada hari ke-2 akan berubah menjadi pustula. Lasi kemudian akan mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga terbentuk umblikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu 1-3 minggu. Pada fase penyembuhan varisela jarang terbentuk parut (scar), apabila tidak disertai dengan infeksi sekunder bakterial.(2)
Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodromal. Gejala yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malase, nyeri kepala dan demam, biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam di kulit. Lesi kulit yang khas dari herpes zoster yaitu lokalisasinya biasanya unilateral dan jarang melewati garis tengah tubuh. Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus V dan VII. Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematosa, kemudian dalam waktu 12-24 jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustula pada hari 3-4 dan akhirnya pada hari ke-7 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali terjadi infeksi sekunder bakterial.(2)
VII. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk mendiagnosis pasien yang dicurigai menderita varisela atau herpes zoster serta untuk menentukan terapi antivirus yang sesuai. Leukopenia terjadi pada 72 jam pertama, diikuti oleh limfositosis. Pemeriksaan fungsi hati (75%) juga mengalami kenaikan. Pasien dengan gangguan neurologi akibat varisela biasanya mengalami limfositik pleositosis dan peningkatan protein pada cairan serebrospinal serta glukosa yang umumnya dalam batas normal.(1)
1. Tes Tzank
- Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s, toluidine blue ataupun Papanicolaou’s. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai multinucleated giant cells.
- Pemeriksaan ini sensitivitasnya sekitar 84%
- Tes ini tidak dapat membedakan antara virus varisela zoster dengan virus herpes simpleks.(2)
2. Teknik PCR
Metode virologi dengan mendeteksi DNA virus ataupun protein virus digunakan sebagai salah satu metode diagnosis infeksi VZV. Spesimen sebaiknya disimpan di dalam es atau pendingin dengan suhu -70ºC apabila penyimpanan dilakukan untuk waktu yang lebih lama.(1)
3. Teknik Serologi
Salah satu metode serologik yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi VZV didasarkan pada pemeriksaan serum akut dan konvalesens yaitu IgM dan IgG. Pemeriksaan VZV IgM memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Reaktivasi VZV memacu IgM yang terkadang sulit dibedakan dengan kehadiran IgM pada infeksi primer. Salah satu kepentingan pemeriksaan antibodi IgG adalah untuk mengetahui status imun seseorang, dimana riwayat penyakit variselanya tidak jelas. Pemeriksaan IgG mempunyai kepentingan klinis, guna mengetahui antibodi pasif atau pernah mendapat vaksin aktif terhadap varisela.(1)
Keberadaan IgG pada dasarnya merupakan petanda dari infeksi laten terkecuali pasien telah menerima antibodi pasif dari imunoglobulin. Teknik lain adalah dengan menggunakan fluorescent-antibody membran eantigen assay, pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi yang terikat pada sel yang terinfeksi oleh VZV. Tes ini sangat sensitif dan spesifik, hampir serupa dengan pemeriksaan enzyme immunoassay atau imunoblotting. Pemeriksaan serologik lain yang mendukung adalah lateks aglutinasi, untuk mengetahui status imunitas terhadap VZV.(1)
VIII. Pengobatan
Penyakit varisela dan herpes zoster pada anak imunokompeten biasanya tidak diperlukan pengobatan yang spesifik dan pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis, yaitu:(2)
- Jika lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah.
- Jika vesikel sudah pecah atau sudah berbentuk krusta, dapat diberikan salep antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
- Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya sindroma Reye.
- Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat garukan.
- Pemberian obat antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu penyembuhan akan lebih singkat. Pemberian obat antivirus sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48-72 jam setelah erupsi di kulit muncul. Golongan obat antivirus yang dapat diberikan yaitu asiklovir, valasiklovir dan famasiklovir. Dosis anti virus (oral) untuk pengobatan varisela dan herpes zoster yang dapat diberikan adalah:
Neonatus: Asiklovir 500 mg/m2IV setiap 8 jam selama 10 hari
Anak (2-12 tahun) : Asiklovir 4x20 mg/kg BB/ hari/oral selama 5 hari
Pubertas dan deasa:
- Asiklovir 5x800 mg/hari/oral selama 7 hari
- Valasiklovir 3x1 gr/hari/oral selama 7 hari
- Famasiklovir 3x500 mg/hari/oral selama 7 hari.(2)
Pemberian asetaminofen untuk mengurangi perasaan tidak nyaman akibat demam; antipruritus seperti difenhidramin 1,25 mg/kg setiap 6 jam atau hidroksin 0,5 mg/kg setiap 6 jam. Topikal dan antibiotik sistemik dapat diberikan untuk mengatasi superinfeksi bakteri. Terapi antivirus menurunkan mortalitas karena progresif pneumonia dapat dicegah, dan mengubah prognosis infeksi varisela pada anak yang beresiko tinggi. Terapi asiklovir pada anak imunodefisiensi harus dimulai pada 24 hingga 72 jam sesudah muncul ruam kulit. Oleh karena rendahnya absorbsi oral, obat diberikan intravena dengan tiap pemberian dosis 500 mg/m2 dalam 8 jam. Terapi dilanjutkan untuk 7 hari atau sampai tidak ada lesi baru yang muncul dalam 48 jam.(1)
IX. Komplikasi
1. Varisela
Komplikasi yang paling sering ditemukan akibat infeksi varisela adalah infeksi bakteri S. aureus atau Streptococcus pyogenes (grup A beta hemolitik streptococcus). Antibiotik sebenarnya dapat dipakai untuk mengurangi resiko kematian, namun pada keadaan sepsis kurang berguna. Infeksi sekunder akibat bakteri biasanya ditandai dengan munculnya bula atau selulitis, limfadenitis regional dan abses subkutan dapat muncul. S. pyogenes umumnya menyebabkan varisela gangrenosa yang bersifat invasif. Manifestasi lain yang adalah pneumonia, arthritis, dan osteomyelitis. Sindroma Reye, yang merupakan ensefalopati non inflamasi dengan degenerasi lemak pada hati dapat merupakan komplikasi yang menyulitkan. Anak yang menderita varisela tidak boleh diberikan aspirin, karena dapat meningkatkan resiko terjadinya sindroma Reye.(1)
Komplikasi neurologis seperti meningoensefalitis dan ataxia cerebral merupakan gejala utama yang biasa terjadi. Komplikasi pada susunan saraf pusat biasanya terjadi pada anak dibawah 5 tahun dan lebih dari usia 20 tahun. Varisela ensefalitis biasanya dapat hilang dengan sendirinya dalam waktu 24 hingga 72 jam. Begitu pula dengan ataksia serebelum, biasanya hilang dalam beberapa waktu. Gejala seperti perdarahan, petekie, purpura, epistaksis, hematuria, perdarahan gastrointestinal, dan DIC disebabkan karena komplikasi yang berupa trombositopenia, terjadi 1 sampai 2 minggu setelah infeksi varisela.(1)
Dapat juga terjadinya artritis virus yang disebabkan karena adanya virus varisela di dalam sendi. Infeksi sendi biasanya sembuh dalam 3 hingga 5 hari. Komplikasi lain yang mungkin pula terjadi, namun jarang sekali ditemukan adalah miokarditis, perikarditis, pankreatitis, dan orkitis.(1)
2. Herpes Zoster
Komplikasi umum dari herpes zoster adalah NPH (Neuralgia Pasca Herpetik). Dari beberapa data didapatkan keterangan bahwa 9% kasus dari herpes zoster berkaitan dengan PHN selama 4 minggu hingga mencapai 10 tahun. Nyeri menetap dirasakan oleh 22% pasien yang mendapatkan sindroma ini. Resiko dari NPH sebenarnya berhubungan dengan peningkatan usia dan kondisi imunodefisiensi dari pasien. Resiko PHN berkepanjangan meningkat 40 hingga 50% pada usia lebih dari 60 tahun.(1)
Herpes zoster juga dapat menyerang sistem saraf pusat dan menyebabkan ensefalitis, namun hal ini sangat jarang terjadi kira-kira hanya 0,2-0,5% dari keseluruhan pasien. Penjalaran dari kulit hingga menyebabkan ensefalitis terjadi dalam waktu 9 hari hingga 6 minggu. Gejala-gejala yang dapat muncul, antara lain: terganggunya fungsi sensori, sakit kepala, fotophobia, meningismus, dan terlihat elektroensefalogram yang abnormal. Paresis saraf kranial dan perifer dapat terjadi akibat komplikasi herpes zoster pada susunan saraf pusat. Biasanya ensefalitis akibat varisela hanya terjadi sekitar 16 hari.(1)
Ensefalitis akibat herpes zoster jarang menyebabkan kematian, kebanyakan pasien sembuh tanpa ada suatu kecacatan tertentu. Ensefalitis juga biasanya berhubungan dengan akut vaskulitis. Gejala lain yang biasanya terjadi adalah angitis serebral, yang merupakan suatu sindrom yang terdiri dari vaskulitis, trombosis, dan mikroinfark yang terkait dengan herpes zoster oftalmikus dan reaktivasi saraf kranial pada individu berusia lanjut.(1)
X. Pencegahan
Pada anak imunokompeten yang telah menderita varisela tidak diperlukan tindakan pencegahan, tetapi tindakan pencegahan ditujukan pada kelompok yang berisiko tinggi untuk menderita varisela yang fatal seperti neonatus, pubertas ataupun orang dewasa, dengan tujuan mencegah ataupun mengurangi gejala varisela. Tindakan pencegahan yang dapat diberikan, yaitu:(2)
1. Imunisasi Pasif
Pada tahun 1962, Ross meringkas literatur terbatas pada kasus-kasus varisela yang parah dan kemudian melakukan studi klasik tentang penggunaan gamma globulin untuk memodifikasi penyakit. Sebuah kemajuan yang signifikan dalam memberikan peningkatan pasokan gamma globulin potensi tinggi dihasilkan dari penggunaan selektif bank darah yang banyak ditunjukkan oleh fiksasi komplemen memiliki tingkat signifikan antibodi varisela.(7)
Imunisasi pasif menggunakan VZIG (Varicella-Zoster Immumoglobin) (Lubis, 2008). Varisela zoster immunoglobulin (VZIG) adalah antibodi IgG terhadap VZV dengan dosis pemberian satu vial untuk 10 kg berat badan secara intramuskular (IM). VZIG profilaksis diindikasikan untuk individu beresiko tinggi, termasuk anak-anak imunodefisiensi, wanita hamil yang pernah mempunyai kontak langsung dengan penderita varisela, neonatal yang terpapar oleh ibu yang terinfeksi varisela, setidaknya diberikan dalam waktu tidak lebih dari 96 jam. Antibodi yang diberikan setelah timbulnya gejala tidak dapat mengurangi keparahan yang terjadi.(1)
Pemberiannya dalam waktu 3 hari (kurang dari 96 jam) setelah terpajan VZV, pada anak-anak imunokompeten terbukti mencegah varisela sedangkan pada anak-anak imunokompromais pemberian VZIG dapat meringankan gejala varisela. VZIG dapat diberikan pada anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun yang berlum pernah menderita varisela atau herpes zoster, pada usia pubertas lebh dari 15 tahun yang belum pernah menderita varisela atau herpes zoster dan tidak mempunyai antibodi terhadap VZV, pada bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita varisela dalam kurun waktu 5 hari sebelum atau 48 jam setelah melahirkan, pada bayi premature dan bayi usia ≤14 hari yang ibunya belum pernah menderita varisela atau herpes zoster, pada anak-anak yang menderita leukimia atau lymphoma yang belum pernah menderita varisela.(2)
2. Imunisasi Aktif
Pada tahun 1974, Takahashi dkk melaporkan bahwa vaksin virus hidup dikembangkan oleh mereka telah mencegah penyebaran varisela di sebuah rumah sakit. Virus strain Oka, telah diperoleh dari kasus varisela pada anak laki-laki 3 tahun. Atenuasi dari strain diikuti 11 bagian struktur pembangun dari manusia sel paru-paru embrio pada 34°C dan 12 bagian dalam embrio marmot sel pada 37°C. Dalam retrospeksi, ada hal yang menarik bahwa meskipun upaya tak terhitung tidak sama dilemahkan ketegangan telah dikembangkan. Dengan demikian, strain Oka tetap penting menjadi unsur vaksin saat ini. Takahashi vaksin yang diproduksi oleh Institut Biken digunakan secara luas di Jepang dan negara-negara timur jauh lainnya.(7)
Pada tahun 1984, Varilrix, sebuah produk Smith Kline Beecham, pertama kali berlisensi di Eropa dan sekarang berlisensi di sekitar 40 negara. Pada 1980-an Pasteur Merieux serum dan Vaccins SA memulai penelitian dari vaksin di Perancis. Varivax, diproduksi oleh Merck and Company, telah dilisensi di Amerika Serikat pada tahun 1995 diikuti 14 tahun penelitian kolaboratif yang luas yang diselenggarakan oleh Dr Anne Gershon. Dengan demikian, vaksin sekarang tersdia secara universal.(7)
Vaksin VZV menggunakan vaksin varisela virus (Oka strain) dan kekebalan yang didapat dapat bertahan hingga 10 tahun. Vaksin ini digunakan di Amerika sejak tahun 1995 dengan daya proteksi melawan varisela berkisar 71-100%. Vaksin efektif jika diberikan pada umur ≥1 tahun dan direkomendasikan diberikan pada usia 12-18 bulan. Anak yang berusia ≤13 tahun yang tidak menderita varisela direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua diberikan dalam 2 dosis dengan jarak 4 hingga 8 minggu dan diberikan secara subkutan. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa demam ataupun raksi lokal seperti ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3-5% anak-anak dan timbul 10-21 hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan. Jenis vaksin varisela lainnya yaitu Varivax. Dimana tidak boleh diberikan pada wanita hamil oleh karena dapat menyebabkan terjadinya kongenital varisela.(2)
Karena kejadian varisela adalah tertinggi di antara anak usia 1-6 tahun, menerapkan persyaratan vaksinasi untuk perawatan anak dan masuk sekolah memiliki dampak besar pada pengurangan kejadian penyakit. Komite Praktek Imunisasi (ACIP) merekomendasikan agar semua negara mengharuskan anak memasuki fasilitas perawatan anak dan sekolah dasar baik telah menerima vaksin varisela atau memiliki bukti lain dari kekebalan terhadap varisela. Bukti lainnya kekebalan harus terdiri dari diagnosis dokter varisela, sejarah dapat diandalkan penyakit, atau bukti serologis imunitas. Untuk mencegah anak-anak lebih tua rentan dari memasuki dewasa tanpa kekebalan terhadap varisela, negara juga harus mempertimbangkan implementasi penting kebijakan yang memerlukan bukti vaksinasi varisela atau bukti lain kekebalan untuk anak-anak masuk sekolah menengah.(3)
Data dari Amerika Serikat dan Jepang yang diperolah dari rumah tangga, rumah sakit, dan masyarakat pengaturan menunjukkan bahwa vaksin varisela efektif dalam mencegah penyakit atau memodifikasi varisela keparahan jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan mungkin sampai 5 hari, paparan. ACIP sekarang merekomendasikan vaksin untuk digunakan pada orang yang rentan setelah terpapar ke varisela. Jika paparan varisela tidak menyebabkan infeksi pasca pajanan vaksinasi harus mendorong perlindungan terhadap paparan berikutnya. Jika hasil pemaparan infeksi, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin varisela selama tahap presimptomatik atau prodromal penyakit meningkatkan risiko untuk vaksin terkait efek samping.(3)
Meskipun pasca pajanan penggunaan vaksin varisela telah teraplikasi esensial dalam pengaturan rumah sakit, vaksinasi secara rutin direkomendasikan untuk semua rentan kesehatan pekerja dan merupakan metode yang disukai untuk mencegah varisela dalam lingkungan perawatan kesehatan. Wabah varisela di beberapa tempat (misalnya, fasilitas penitipan anak, sekolah, lembaga) bisa bertahan 3-6 bulan. Varisela Vaksin telah berhasil digunakan oleh departemen kesehatan dan oleh militer untuk pencegahan dan pengendalian wabah3.
1. Kurniawan, M., N. Dessy & M. Tatang, 2009. Varisela zoster pada anak. Medicinus, 3(1), hal. 23-31.
2. Lubis, RD., 2008. Varisela dan Herpes Zoster. Makalah. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 1999. Prevention of Varisela: updated recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR U.S. Department of Health & Human Services, 48(6), p. 1-5.
4. Gilden, L. Williams & Cohrs, 2002. Clinical features of Varisela Zoster Virus infection of the nervous system. Review Article ANCR, 2(2), p. 7-10.
5. Arvin, AM., 2000. Varisela-zoster virus: Pathogenesis, immunity, and clinical management in hematopoietic cell transplant recipients. Biology of Blood and Marrow Transplantation, 6(1), p. 219-230.
6. Fairley, CK. & E. Miller, 1996. Varisela-Zoster Virus Epidemiology-A Changing Scene?. The Journal of Infectious Diseases, 174(3), p. 314-319.
7. Fitzpatrick TB, Wolff K, Allen R. Color atlas & Synopsis of Clinical Dermatology , 6th edition. New York: McGraw-Hill Inc, 2009.p. 833-49
readmore »»
Penyakit cacar air (varisela) mungkin sudah tidak asing lagi dan merupakan penyakit yang mendunia. Varisela merupakan penyakit menular yang dapat menyerang siapa saja, terutama mereka yang belum mendapatkan imunisasi. Di Indonesia, tidak banyak data yang mencatat kasus varisela atau cacar air secara nasional. Data yang tercatat merupakan data epidemi cacar air pada daerah tertentu saja. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas menyebutkan, selama periode Januari hingga November 2007, sedikitnya 691 warga terkena penyakit cacar air atau varisela.(1)
Varisela merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus Varicella-Zoster yang hingga kini masih tetap menjadi epidemi di dunia dan di Indonesia. Walaupun infeksi Varisela zoster tergolong ke dalam infeksi ringan, namun dalam kondisi defisiensi imun penyakit dapat menjadi berat dan tidak menutup kemungkinan berujung kepada kematian.(1)
Varicella-Zooster Virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome DNA double stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein.(2)
Virus Varicella-Zoster dapat menyebabkan infeksi primer, laten, dan rekuren. Infeksi primer bermanifestasi sebagai varisela (chickenpox); reaktivasi dari infeksi laten menyebabkan herpes zoster (shingles). Penyakit ini sangat menular dengan karakteristik lesi-lesi vesikel kemerahan. Reaktivasi laten dari virus varisela zoster umumnya terjadi pada dekade ke enam dengan munculnya shingles yang berkarakteristik sebagai lesi vesikular terbatas pada dermatom tertentu dan disertai rasa sakit yang hebat.(1)
II. Defenisi
Penyakit cacar air adalah penyakit infeksi virus yang disebabkan oleh virus Varicella-Zoster yang dapat bermanifestasi menjadi varisela (chickenpox) dan reaktivasi latennya menimbulkan herpes zoster (shingles).(1)
Varisela biasanya merupakan penyakit terbatas yang berlangsung 4 hingga 5 hari dan ditandai dengan demam, malaise, dan ruam vesikular generalisata biasanya terdiri dari 250-500 lesi. Bayi, remaja, dewasa, dan orang-orang yang immunocompromised berada pada risiko tinggi untuk komplikasi.(3)
III. Etiologi
Chickenpox dan shingles disebabkan oleh Varicella-Zooster Virus (VZV) dari famili virus herpes, sangat mirip dengan Herpes Simplex Virus. Virus ini mempunyai amplop, berbentuk ikosahedral, dan memiliki DNA berantai ganda yang mengkode lebih dari 70 macam protein.(1)
Varisela zoster virus (VZV) adalah Human Herpes Virus neurotropik yang menyebabkan kurang empat juta kasus cacar setiap tahunnya. Setelah cacar, VZV menjadi laten pada saraf kranial, dorsal akar dan ganglia sistem saraf otonom sepanjang neuraxis.(4)
Varicella-Zoster Virus (VZV) atau virus herpes, terdiri dari genom DNA berantai ganda dikelilingi oleh protein dan terkandung dalam suatu selubung dari ikosahedral dan lipid pada membran luar. Genom VZV memiliki 69 gen yang berbeda yang mengkode protein membentuk virus dan masuk ke dalam sel inang. Replikasi virus DNA dan sintesis virion baru menyebar ke sel yang tidak terinfeksi berdekatan.(5)
VZV, seperti human herpes virus lainnya, merupakan ancaman bagi penerima transplantasi sel hematopoietik (HCT). Selama infeksi primer, yang menyebabkan varisela, VZV menetapkan latensi dalam sel-sel ganglia akar dorsal sensorik. Di antara pasien dewasa HCT, sebagian besar infeksi VZV menandakan pengaktifan kembali virus laten. Herpes zoster klasik, dengan ruam vesikuler dermatomal adalah gejala klinis yang paling umum disebabkan oleh reaktivasi VZV, namun beberapa penerima HCT memiliki eksantema vesikular umum yang menyerupai varisela, sindrom nyeri neuropatik, atau keterlibatan organ yang tidak terkait dengan ruam apapun.(5)
IV. Epidemiologi
Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin maupun ras. Penyakit ini sangat menular dengan attack rate ± 90% terhadap orang yang rentan. Insidensinya berkisar antara 65-86% dengan masa penularan 24-48 jam sebelum lesi kulit muncul serta 3-7 hari setelah lesi muncul. Sekitar 50% kasus terjadi pada anak-anak usia 5-9 tahun, banyak pula ditemukan pada usia 1-4 tahun dan 10-14 tahun, 11.000 kasus diperlukan perawatan di rumah sakit dan 100 meninggal setiap tahunnya.(1)
Varisela Perinatal dengan kematian dapat terjadi apabila ibu hamil terjangkit varisela pada 5 hari sebelum melahirkan atau 48 jam setelah melahirkan. Kematian berkaitan dengan rendahnya sistem imununitas pada neonatus. Varisela Kongenital ditandai dengan hipoplasia ekstremitas, lesi kulit, dan mikrosefali. Secara keseluruhan, insiden dari herpes zoster adalah 215 per 100.000 orang per tahun. Sekitar 75% kasus terjadi pada umur di atas 45 tahun, insidens akan meningkat pada penderita dengan sistem imun rendah.(1)
Epidemiologi cacar tampaknya berubah. Dijelaskan bahwa telah terjadi pergeseran dalam distribusi usia kasus selama 20 tahun terakhir. Hal ini tercermin dari peningkatan konsultasi untuk cacar air dalam praktek umum dan lebih banyak kematian di Inggris dan Wales. Berdasarkan data penerimaan rumah sakit untuk cacar air pada orang dewasa muda, ada bukti yang mirip tren di Amerika Serikat. Perubahan epidemiologi memiliki konsekuensi penting bagi masa depan seperti kematian dan risiko infeksi pada petugas kesehatan dan ibu hamil.(6)
Cacar air umumnya dianggap sebagai penyakit ringan di negara-negara dimana sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak imunokompeten, komplikasi jarang terjadi dengan kurang dari 2 kematian per 100.000 kasus pada anak-anak usia 1-14 tahun. Sebaliknya, pada orang dewasa, cacar air lebih sering dikaitkan dengan komplikasi dan kematian. Penjelasan klinis Varisela pneumonia terjadi pada 1 dalam 400 kasus dan sangat parah pada perokok. Varisela ensefalitis adalah komplikasi lebih serius, dengan mortalitas 10% dan jangka panjang hingga 15% dari korban.(6)
Varisela terdapat di seluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varisela terutama mengenai anak-anak berusia di bawah 20 tahun terutama 3 higga 6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Di Amerika, varisela sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan di Jepang, umumnya terjadi pada anak-anak di bawah usia 6 tahun sebanyak 81,4%.(2)
V. Patogenesis
VZV merupakan virus yang menular selama 1-2 hari sebelum lesi kulit muncul, dapat ditularkan melalui jalur respirasi, dan menimbulkan lesi pada orofaring, lesi inilah yang memfasilitasi penyebaran virus melalui jalur traktus respiratorius. Pada fase ini, penularan terjadi melalui droplet kepada membran mukosa orang sehat misalnya konjungtiva. Masa inkubasi berlangsung sekitar 14 hari, dimana virus akan menyebar ke kelenjar limfe, kemudian menuju ke hati dan sel-sel mononuklear. VZV yang ada dalam sel mononuklear mulai menghilang 24 jam sebelum terjadinya ruam kulit; pada penderita immunocrompomised, virus menghilang lebih lambat yaitu 24-72 jam setelah timbulnya ruam kulit.(2)
Virus-virus ini bermigrasi dan bereplikasi dari kapiler menuju ke jaringan kulit dan menyebabkan lesi makulopapular, vesikuler, dan krusta. Infeksi ini menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel membentuk sel multinukleus yang ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik intranuklear. Perkembangan vesikel berhubungan dengan peristiwa “ballooning”, yakni degenerasi sel epitelial akan menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh cairan. Penyebaran lesi di kulit diketahui disebabkan oleh adanya protein ORF47 kinase yang berguna pada proses replikasi virus. VZV dapat menyebabkan terjadinya infeksi diseminata yang biasanya berhubungan dengan rendahnya sistem imun dari penderita.(1)
Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14 hingga16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang khas. Seorang anak yang menderita varisela akan menularkan kepada orang lain 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi di kulit.(2)
Pada herpes zoster, patogenesisnya belum seluruhnya diketahui. Selama terjadinya varisela, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris dan ditransportasikan secara centripetal melalui serabut syaraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus.(2)
VI. Manifestasi Klinis
Dimulai dengan gejala prodromal seperti demam, malaise, sakit kepala, dan nyeri abdomen, yang berlangsung 24 hingga 48 jam sebelum lesi kulit muncul. Gejala sistemik seperti demam, lelah, dan anoreksia dapat timbul bersamaan dengan lesi kulit. Gejala pada saluran pernafasan dan muntah jarang sekali terjadi. Lesi kulit awal mengenai kulit kepala, muka, badan, biasanya sangat gatal, berupa makula kemerahan, kemudian berubah menjadi lesi vesikel kecil dan berisi cairan di dalamnya, seperti tampilan tetesan air mata. Penyembuhannya ditandai dengan terbentuknya sel epitel kulit baru yang muncul dari dasar lesi. Hipopigmentasi dapat terjadi akibat penyembuhan lesi. Parut atau bekas luka jarang terjadi akibat infeksi varisela.(1)
Gambar 1. Dikutip dari kepustakaan 7
Lesi pada varisela, diawali pada daerah wajah dan scalp, kemudian meluas ke dada (penyebaran secara sentripetal) dan kemudian dapat meluas ke ekstremitas. Lesi juga dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi pada varisela biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya semua stadium lesi secara bersamaan.(2)
Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa padadaerah wajah dan dada, dan kemudian berubah cepat dalam waktu 12-14 jam menjadi papul dan kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang jernih dengan dasar eritematosa.(2)
Vesikel yang terbentuk dengan dasar yang eritematosa mempunyai gambaran klasik yaitu letaknya superfisial dan mempunyai dinding yang tipis sehingga terlihat seperti kumpulan tetesan air di atas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm, berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau tampak vesikel seperti titik-titik embun di atas daun bunga mawar (dew drop on a rose petal). Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan masunya sel radang sehingga pada hari ke-2 akan berubah menjadi pustula. Lasi kemudian akan mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga terbentuk umblikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu 1-3 minggu. Pada fase penyembuhan varisela jarang terbentuk parut (scar), apabila tidak disertai dengan infeksi sekunder bakterial.(2)
Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodromal. Gejala yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malase, nyeri kepala dan demam, biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam di kulit. Lesi kulit yang khas dari herpes zoster yaitu lokalisasinya biasanya unilateral dan jarang melewati garis tengah tubuh. Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus V dan VII. Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematosa, kemudian dalam waktu 12-24 jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustula pada hari 3-4 dan akhirnya pada hari ke-7 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali terjadi infeksi sekunder bakterial.(2)
VII. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk mendiagnosis pasien yang dicurigai menderita varisela atau herpes zoster serta untuk menentukan terapi antivirus yang sesuai. Leukopenia terjadi pada 72 jam pertama, diikuti oleh limfositosis. Pemeriksaan fungsi hati (75%) juga mengalami kenaikan. Pasien dengan gangguan neurologi akibat varisela biasanya mengalami limfositik pleositosis dan peningkatan protein pada cairan serebrospinal serta glukosa yang umumnya dalam batas normal.(1)
1. Tes Tzank
- Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s, toluidine blue ataupun Papanicolaou’s. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai multinucleated giant cells.
- Pemeriksaan ini sensitivitasnya sekitar 84%
- Tes ini tidak dapat membedakan antara virus varisela zoster dengan virus herpes simpleks.(2)
2. Teknik PCR
Metode virologi dengan mendeteksi DNA virus ataupun protein virus digunakan sebagai salah satu metode diagnosis infeksi VZV. Spesimen sebaiknya disimpan di dalam es atau pendingin dengan suhu -70ºC apabila penyimpanan dilakukan untuk waktu yang lebih lama.(1)
3. Teknik Serologi
Salah satu metode serologik yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi VZV didasarkan pada pemeriksaan serum akut dan konvalesens yaitu IgM dan IgG. Pemeriksaan VZV IgM memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Reaktivasi VZV memacu IgM yang terkadang sulit dibedakan dengan kehadiran IgM pada infeksi primer. Salah satu kepentingan pemeriksaan antibodi IgG adalah untuk mengetahui status imun seseorang, dimana riwayat penyakit variselanya tidak jelas. Pemeriksaan IgG mempunyai kepentingan klinis, guna mengetahui antibodi pasif atau pernah mendapat vaksin aktif terhadap varisela.(1)
Keberadaan IgG pada dasarnya merupakan petanda dari infeksi laten terkecuali pasien telah menerima antibodi pasif dari imunoglobulin. Teknik lain adalah dengan menggunakan fluorescent-antibody membran eantigen assay, pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi yang terikat pada sel yang terinfeksi oleh VZV. Tes ini sangat sensitif dan spesifik, hampir serupa dengan pemeriksaan enzyme immunoassay atau imunoblotting. Pemeriksaan serologik lain yang mendukung adalah lateks aglutinasi, untuk mengetahui status imunitas terhadap VZV.(1)
VIII. Pengobatan
Penyakit varisela dan herpes zoster pada anak imunokompeten biasanya tidak diperlukan pengobatan yang spesifik dan pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis, yaitu:(2)
- Jika lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah.
- Jika vesikel sudah pecah atau sudah berbentuk krusta, dapat diberikan salep antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
- Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya sindroma Reye.
- Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat garukan.
- Pemberian obat antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu penyembuhan akan lebih singkat. Pemberian obat antivirus sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48-72 jam setelah erupsi di kulit muncul. Golongan obat antivirus yang dapat diberikan yaitu asiklovir, valasiklovir dan famasiklovir. Dosis anti virus (oral) untuk pengobatan varisela dan herpes zoster yang dapat diberikan adalah:
Neonatus: Asiklovir 500 mg/m2IV setiap 8 jam selama 10 hari
Anak (2-12 tahun) : Asiklovir 4x20 mg/kg BB/ hari/oral selama 5 hari
Pubertas dan deasa:
- Asiklovir 5x800 mg/hari/oral selama 7 hari
- Valasiklovir 3x1 gr/hari/oral selama 7 hari
- Famasiklovir 3x500 mg/hari/oral selama 7 hari.(2)
Pemberian asetaminofen untuk mengurangi perasaan tidak nyaman akibat demam; antipruritus seperti difenhidramin 1,25 mg/kg setiap 6 jam atau hidroksin 0,5 mg/kg setiap 6 jam. Topikal dan antibiotik sistemik dapat diberikan untuk mengatasi superinfeksi bakteri. Terapi antivirus menurunkan mortalitas karena progresif pneumonia dapat dicegah, dan mengubah prognosis infeksi varisela pada anak yang beresiko tinggi. Terapi asiklovir pada anak imunodefisiensi harus dimulai pada 24 hingga 72 jam sesudah muncul ruam kulit. Oleh karena rendahnya absorbsi oral, obat diberikan intravena dengan tiap pemberian dosis 500 mg/m2 dalam 8 jam. Terapi dilanjutkan untuk 7 hari atau sampai tidak ada lesi baru yang muncul dalam 48 jam.(1)
IX. Komplikasi
1. Varisela
Komplikasi yang paling sering ditemukan akibat infeksi varisela adalah infeksi bakteri S. aureus atau Streptococcus pyogenes (grup A beta hemolitik streptococcus). Antibiotik sebenarnya dapat dipakai untuk mengurangi resiko kematian, namun pada keadaan sepsis kurang berguna. Infeksi sekunder akibat bakteri biasanya ditandai dengan munculnya bula atau selulitis, limfadenitis regional dan abses subkutan dapat muncul. S. pyogenes umumnya menyebabkan varisela gangrenosa yang bersifat invasif. Manifestasi lain yang adalah pneumonia, arthritis, dan osteomyelitis. Sindroma Reye, yang merupakan ensefalopati non inflamasi dengan degenerasi lemak pada hati dapat merupakan komplikasi yang menyulitkan. Anak yang menderita varisela tidak boleh diberikan aspirin, karena dapat meningkatkan resiko terjadinya sindroma Reye.(1)
Komplikasi neurologis seperti meningoensefalitis dan ataxia cerebral merupakan gejala utama yang biasa terjadi. Komplikasi pada susunan saraf pusat biasanya terjadi pada anak dibawah 5 tahun dan lebih dari usia 20 tahun. Varisela ensefalitis biasanya dapat hilang dengan sendirinya dalam waktu 24 hingga 72 jam. Begitu pula dengan ataksia serebelum, biasanya hilang dalam beberapa waktu. Gejala seperti perdarahan, petekie, purpura, epistaksis, hematuria, perdarahan gastrointestinal, dan DIC disebabkan karena komplikasi yang berupa trombositopenia, terjadi 1 sampai 2 minggu setelah infeksi varisela.(1)
Dapat juga terjadinya artritis virus yang disebabkan karena adanya virus varisela di dalam sendi. Infeksi sendi biasanya sembuh dalam 3 hingga 5 hari. Komplikasi lain yang mungkin pula terjadi, namun jarang sekali ditemukan adalah miokarditis, perikarditis, pankreatitis, dan orkitis.(1)
2. Herpes Zoster
Komplikasi umum dari herpes zoster adalah NPH (Neuralgia Pasca Herpetik). Dari beberapa data didapatkan keterangan bahwa 9% kasus dari herpes zoster berkaitan dengan PHN selama 4 minggu hingga mencapai 10 tahun. Nyeri menetap dirasakan oleh 22% pasien yang mendapatkan sindroma ini. Resiko dari NPH sebenarnya berhubungan dengan peningkatan usia dan kondisi imunodefisiensi dari pasien. Resiko PHN berkepanjangan meningkat 40 hingga 50% pada usia lebih dari 60 tahun.(1)
Herpes zoster juga dapat menyerang sistem saraf pusat dan menyebabkan ensefalitis, namun hal ini sangat jarang terjadi kira-kira hanya 0,2-0,5% dari keseluruhan pasien. Penjalaran dari kulit hingga menyebabkan ensefalitis terjadi dalam waktu 9 hari hingga 6 minggu. Gejala-gejala yang dapat muncul, antara lain: terganggunya fungsi sensori, sakit kepala, fotophobia, meningismus, dan terlihat elektroensefalogram yang abnormal. Paresis saraf kranial dan perifer dapat terjadi akibat komplikasi herpes zoster pada susunan saraf pusat. Biasanya ensefalitis akibat varisela hanya terjadi sekitar 16 hari.(1)
Ensefalitis akibat herpes zoster jarang menyebabkan kematian, kebanyakan pasien sembuh tanpa ada suatu kecacatan tertentu. Ensefalitis juga biasanya berhubungan dengan akut vaskulitis. Gejala lain yang biasanya terjadi adalah angitis serebral, yang merupakan suatu sindrom yang terdiri dari vaskulitis, trombosis, dan mikroinfark yang terkait dengan herpes zoster oftalmikus dan reaktivasi saraf kranial pada individu berusia lanjut.(1)
X. Pencegahan
Pada anak imunokompeten yang telah menderita varisela tidak diperlukan tindakan pencegahan, tetapi tindakan pencegahan ditujukan pada kelompok yang berisiko tinggi untuk menderita varisela yang fatal seperti neonatus, pubertas ataupun orang dewasa, dengan tujuan mencegah ataupun mengurangi gejala varisela. Tindakan pencegahan yang dapat diberikan, yaitu:(2)
1. Imunisasi Pasif
Pada tahun 1962, Ross meringkas literatur terbatas pada kasus-kasus varisela yang parah dan kemudian melakukan studi klasik tentang penggunaan gamma globulin untuk memodifikasi penyakit. Sebuah kemajuan yang signifikan dalam memberikan peningkatan pasokan gamma globulin potensi tinggi dihasilkan dari penggunaan selektif bank darah yang banyak ditunjukkan oleh fiksasi komplemen memiliki tingkat signifikan antibodi varisela.(7)
Imunisasi pasif menggunakan VZIG (Varicella-Zoster Immumoglobin) (Lubis, 2008). Varisela zoster immunoglobulin (VZIG) adalah antibodi IgG terhadap VZV dengan dosis pemberian satu vial untuk 10 kg berat badan secara intramuskular (IM). VZIG profilaksis diindikasikan untuk individu beresiko tinggi, termasuk anak-anak imunodefisiensi, wanita hamil yang pernah mempunyai kontak langsung dengan penderita varisela, neonatal yang terpapar oleh ibu yang terinfeksi varisela, setidaknya diberikan dalam waktu tidak lebih dari 96 jam. Antibodi yang diberikan setelah timbulnya gejala tidak dapat mengurangi keparahan yang terjadi.(1)
Pemberiannya dalam waktu 3 hari (kurang dari 96 jam) setelah terpajan VZV, pada anak-anak imunokompeten terbukti mencegah varisela sedangkan pada anak-anak imunokompromais pemberian VZIG dapat meringankan gejala varisela. VZIG dapat diberikan pada anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun yang berlum pernah menderita varisela atau herpes zoster, pada usia pubertas lebh dari 15 tahun yang belum pernah menderita varisela atau herpes zoster dan tidak mempunyai antibodi terhadap VZV, pada bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita varisela dalam kurun waktu 5 hari sebelum atau 48 jam setelah melahirkan, pada bayi premature dan bayi usia ≤14 hari yang ibunya belum pernah menderita varisela atau herpes zoster, pada anak-anak yang menderita leukimia atau lymphoma yang belum pernah menderita varisela.(2)
2. Imunisasi Aktif
Pada tahun 1974, Takahashi dkk melaporkan bahwa vaksin virus hidup dikembangkan oleh mereka telah mencegah penyebaran varisela di sebuah rumah sakit. Virus strain Oka, telah diperoleh dari kasus varisela pada anak laki-laki 3 tahun. Atenuasi dari strain diikuti 11 bagian struktur pembangun dari manusia sel paru-paru embrio pada 34°C dan 12 bagian dalam embrio marmot sel pada 37°C. Dalam retrospeksi, ada hal yang menarik bahwa meskipun upaya tak terhitung tidak sama dilemahkan ketegangan telah dikembangkan. Dengan demikian, strain Oka tetap penting menjadi unsur vaksin saat ini. Takahashi vaksin yang diproduksi oleh Institut Biken digunakan secara luas di Jepang dan negara-negara timur jauh lainnya.(7)
Pada tahun 1984, Varilrix, sebuah produk Smith Kline Beecham, pertama kali berlisensi di Eropa dan sekarang berlisensi di sekitar 40 negara. Pada 1980-an Pasteur Merieux serum dan Vaccins SA memulai penelitian dari vaksin di Perancis. Varivax, diproduksi oleh Merck and Company, telah dilisensi di Amerika Serikat pada tahun 1995 diikuti 14 tahun penelitian kolaboratif yang luas yang diselenggarakan oleh Dr Anne Gershon. Dengan demikian, vaksin sekarang tersdia secara universal.(7)
Vaksin VZV menggunakan vaksin varisela virus (Oka strain) dan kekebalan yang didapat dapat bertahan hingga 10 tahun. Vaksin ini digunakan di Amerika sejak tahun 1995 dengan daya proteksi melawan varisela berkisar 71-100%. Vaksin efektif jika diberikan pada umur ≥1 tahun dan direkomendasikan diberikan pada usia 12-18 bulan. Anak yang berusia ≤13 tahun yang tidak menderita varisela direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua diberikan dalam 2 dosis dengan jarak 4 hingga 8 minggu dan diberikan secara subkutan. Efek samping yang ditimbulkan dapat berupa demam ataupun raksi lokal seperti ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3-5% anak-anak dan timbul 10-21 hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan. Jenis vaksin varisela lainnya yaitu Varivax. Dimana tidak boleh diberikan pada wanita hamil oleh karena dapat menyebabkan terjadinya kongenital varisela.(2)
Karena kejadian varisela adalah tertinggi di antara anak usia 1-6 tahun, menerapkan persyaratan vaksinasi untuk perawatan anak dan masuk sekolah memiliki dampak besar pada pengurangan kejadian penyakit. Komite Praktek Imunisasi (ACIP) merekomendasikan agar semua negara mengharuskan anak memasuki fasilitas perawatan anak dan sekolah dasar baik telah menerima vaksin varisela atau memiliki bukti lain dari kekebalan terhadap varisela. Bukti lainnya kekebalan harus terdiri dari diagnosis dokter varisela, sejarah dapat diandalkan penyakit, atau bukti serologis imunitas. Untuk mencegah anak-anak lebih tua rentan dari memasuki dewasa tanpa kekebalan terhadap varisela, negara juga harus mempertimbangkan implementasi penting kebijakan yang memerlukan bukti vaksinasi varisela atau bukti lain kekebalan untuk anak-anak masuk sekolah menengah.(3)
Data dari Amerika Serikat dan Jepang yang diperolah dari rumah tangga, rumah sakit, dan masyarakat pengaturan menunjukkan bahwa vaksin varisela efektif dalam mencegah penyakit atau memodifikasi varisela keparahan jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan mungkin sampai 5 hari, paparan. ACIP sekarang merekomendasikan vaksin untuk digunakan pada orang yang rentan setelah terpapar ke varisela. Jika paparan varisela tidak menyebabkan infeksi pasca pajanan vaksinasi harus mendorong perlindungan terhadap paparan berikutnya. Jika hasil pemaparan infeksi, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin varisela selama tahap presimptomatik atau prodromal penyakit meningkatkan risiko untuk vaksin terkait efek samping.(3)
Meskipun pasca pajanan penggunaan vaksin varisela telah teraplikasi esensial dalam pengaturan rumah sakit, vaksinasi secara rutin direkomendasikan untuk semua rentan kesehatan pekerja dan merupakan metode yang disukai untuk mencegah varisela dalam lingkungan perawatan kesehatan. Wabah varisela di beberapa tempat (misalnya, fasilitas penitipan anak, sekolah, lembaga) bisa bertahan 3-6 bulan. Varisela Vaksin telah berhasil digunakan oleh departemen kesehatan dan oleh militer untuk pencegahan dan pengendalian wabah3.
DAFTAR PUSTAKA
2. Lubis, RD., 2008. Varisela dan Herpes Zoster. Makalah. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 1999. Prevention of Varisela: updated recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR U.S. Department of Health & Human Services, 48(6), p. 1-5.
4. Gilden, L. Williams & Cohrs, 2002. Clinical features of Varisela Zoster Virus infection of the nervous system. Review Article ANCR, 2(2), p. 7-10.
5. Arvin, AM., 2000. Varisela-zoster virus: Pathogenesis, immunity, and clinical management in hematopoietic cell transplant recipients. Biology of Blood and Marrow Transplantation, 6(1), p. 219-230.
6. Fairley, CK. & E. Miller, 1996. Varisela-Zoster Virus Epidemiology-A Changing Scene?. The Journal of Infectious Diseases, 174(3), p. 314-319.
7. Fitzpatrick TB, Wolff K, Allen R. Color atlas & Synopsis of Clinical Dermatology , 6th edition. New York: McGraw-Hill Inc, 2009.p. 833-49
Langganan:
Postingan (Atom)